Jumat, 28 Maret 2014

MAKALAH SPI KHULAFAUR RASYIDIN



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pada umumnya setiap penulisan ulang mengenai Sejarah Pendidikaan Islam pada masa-masa Khulafaur Rasyidin ataupun sejarah-sejarah lain adalah terbuka dan milik semua orang. Asalkan bisa memahami dan bisa mengaplikasikannya secara sistematis dan inofatif. Tema besar penulisan makalah ini akan lebih banyak menelusuri mengenai akar-akar Sejarah Pendidikan Islam pada masa Khulafaur Rasyidin. Karena nilai-nilai positif Sejarah Pendidikan Khulafaur Rasyidin tidak lagi dijadikan teladan oleh orang-orang Islam.
Fenomena yang sangat menyedihkan, mayoritas orang-orang Islam saat ini lebih banyak mengadobsi budaya/peradaban orang-orang non muslim. semua itu merupakan cerminan bagi potret perkembangan di masing-masing kawasan Dunia Islam yang terus menerus menunjukkan dinamikanya.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memperkaya nuansa dan pengembangan wawasan dalam studi Sejarah Pendidikan Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
Secara garis besar pembuatan makalah kami ini akan mencoba membahas tentang:
1.      Mengurai kembali tentang sejarah pedidikan pada masa khulafaur Rasyidin.
2.      Proses-proses kebijakan pada kepemimpinan para khulafaur Rasyidin.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    KHULAFAUR RASYIDIN
1. Pengertian Khulafaur Rasyidin
Kata Khulafaur Rasyidin itu berasal dari bahasa arab yang terdiri dari kata Khulafa dan Rasyidin, Khulafa’ itu menunjukkan banyak khalifah, bila satu di sebut khalifah, yang mempunyai arti pemimpin dalam arti orang yanng mengganti kedudukan rasullah SAW sesudah wafat melindungi agama dan siasat (politik) keduniaan agar setiap orang menepati apa yang telah ditentukan oleh batas-batasnya dalam melaksanakan hukum-hukum syariat agama islam.
Adapun kata Arrasyidin itu berarti arif dan bijaksana. Jadi Khulafaur Rasyidin mempunyai arti pemimpim yang bijaksana sesudah nabi Muhammad wafat. Para Khulafaur Rasyidin itu adalah pemimpin yang arif dan bijaksana. Mereka itu terdiri dari para sahabat nabi Muhammad SAW yang berkualitas tinggi dan baik. Adapun sifat-sifat yang dimiliki Khulafaur Rasyidin sebagai berikut:
a.       Arif dan bijaksana
b.      Berilmu yang luas dan mendalam
c.       Berani bertindak
d.      Berkemauan yang keras
e.       Berwibawa
f.       Belas kasihan dan kasih sayang
g.      Berilmu agama yang amat luas serta melaksanakan hukum-hukum islam.

Para sahabat yang disebut
Khulafaur Rasyidin terdiri dari empat orang khalifah yaitu:
1.      Abubakar Shidik khalifah yang pertama  (11 – 13 H = 632 – 634 M).
2.      Umar bin Khattab khalifah yang kedua  (13 – 23 H = 634 – 644 M).
3.      Usman bin Affan khalifah yang ketiga  (23 – 35 H = 644 – 656 M).
4.      Ali bin Abi Thalib khalifah yang keempat  (35 – 40 H = 656 – 661 M)[1].
 A.   Pada Masa Kholifah Abu Bakar
            Pada awal kekhalifahan Abu Bakar, telah di guncang pemberontakan oleh orang-orang murtad, orang yang mengaku sebagai Nabi dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Pada awal kekuasaannya, Abu Bakar memusatkan konsentrasinya untuk memerangi pemberontakan yang dapat mengacaukan keamanan dan dapat mempengaruhi orang-orang islam yang masih lemah imannya untuk menyimpang dari islam. Maka dikirimlah pasukan untuk menumpas para pemberontak di Yamamah.
Dalam operasi pemberantasan tersebut, sebanyak 73 orang dari islam gugur, yang terdiri dari sahabat dekat Rasul dan para hafisd Al-Qur’an. Kenyataan ini telah mengurangi jumlah sahabat yang hapal Al-Qur’an dan jika tidak diperhatikan, sahabat-sahabat yang hapal al-Qur’an akan habis dan akhirnya akan melahirkan perselisihan di kalangan umat islam mengenai Al-Qur’an. Oleh karna itu sahabat Umar bin Khatab menyarankan kepada Khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an. Saran tersebut kemudian di realisasikan Abu Bakar dengan mengutuskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan semua tulisan ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian,Khalifah Abu Bakar berjasa dalam menyelamatkan keaslian materi dasar pendidikan Islam.
            Pemberontakan orang-orang murtad, nabi-nabi palsu, dan orang-orang yang enggan membayar zakat, memberikan pengalaman bagi umat Islam untuk memperteguh ajaran-ajaran Islam kepada kaum Muslimin sehingga dapat di hindari kejadian serupa. Pengalaman tersebut memperteguh pendidikan Islam untuk memperkokoh nilai-nilai Islam dikalangan kaum Muslimin. Akan tetapi, pelaksanaan pendidikan Islam di masa khalifah Abu Bakar masih seperti di masa Nabi, baik materi maupun lembaga pendidikannya.
Selain mengirim tentara untuk memberantas pemberontak, Abu Bakar juga memusatkan perhatiannya untuk mengirimkan pasukan dalam rangka memperluas ekspansi wilayah Islam ke Syiria untuk melaksanakan niat Rasulallah yang telah dipersiapkan sesaat sebelum Rasulullah wafat. Usaha umat Islam berhasil menaklukan Syiria. Ekspansi wilayah Islam membuat umat Islam kurang memberikan perhatian terhadap pendidikan Islam.
Sejumlah kemajuan telah dicapai pada masa Abu Bakar. Selain menumpas para pemberontak (kemurtadan dan nabi palsu Musyailimah dan Tulaihah) dan memperluas daerah Islam, Abu Bakar juga telah berjasa dalam gagasannya melakukan pengumpulan naskah-naskah Al-quran yang sebelunya masih berserakan (kodifikasian Al-Qur’an)[2].

B. Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab
            Pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab kondisi politik dalam keadaan stabil. Melanjutkan kebijaksanaan Abu Bakar, Umar bin Khatab mengirim pasukan untuk memperluas wilayah Islam. Ekspansi Islam dimasa Umar bin Khatab mencapai hasil yang gemilang, yang meliputi semenanjung Arabia, Palestina, Syria, Irak, Persia dan Mesir. Umar memerintah selama sepuluh tahun enam bulan 4 hari. Ia meninggal akibat dibunuh oleh seorang budak Kristen dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah ketika sholat subuh berjamaah di masjid Nabawi.
Sebelum ia meninggal beliau mendirikan lembaga pengadilan dan departemen-departemen didirikan begitu juga dengan kepolisisan-kepolisisan yag berpungsi menjaga keamanan. Umar juga mendirikan Baitul Mal, menciptakan tahun hijrah sebagai awal kalender Islam, memimpin sebagian besar wilayah dunia, membentuk sistem administrasi dan mendirikan pemerintahan imperium baru.
Dengan meluasnya wilayah islam sampai keluar jazirah Arab, penguasa memikirkan pendidikan islam di daerah-daerah diluar jazirah Arab karena bangsa-bangsa tersebut memiliki adat dan kebudayaan yang berbeda dengan Islam. Untuk itu Umar memerintahkan panglima-panglima, apabila mereka berhasil menguasai suatu kota hendaknya mereka mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan pendidikan. Berkaitan dengan usaha pendidikan itu, Khalifah Umar mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk tiap-tiap daerah yang di taklukan, yang bertugas mengajarkan isi Al-Qur’an dan ajaran Islam kepada penduduk yang baru masuk Islam .
           
Pada masa Khalifah Umar, sahabat-sahabat besar yang lebih dekat kepada Rosulullah dan memiliki  pengaruh besar, dilarang keluar Madinah kecuali atas izin Khalifah dan hanya dalam waktu yang terbatas.  Dengan demikian, penyebaran ilmu para sahabat besar terpusatkan dimadinah sehingga kota tersebut  pada waktu itu menjadi pusat keilmuan Islam. meluasnya kekuasaan Islam, mendorong kegiatan pendidikan Islam bertambah besar karena mereka yang baru menganut islam ingin menimba ilmu keagamaan dari sahabat-sahabat yang menerima langsung dari Nabi, khususnya manyangkut Hadits Rasul sebagai salah satu sumber agaama yang belum terbukukan dan hanya ada dalam ingatan para sahabat dan sebagai alat bantu untuk menafsirkan Al-Quran[3]. Sejak masa ini, telah terjadi mobilitas penuntut Ilmu dari daerah-daerah jauh menuju Madinah sebagai pusat Ilmu Agama Islam. Gairah menuntut Ilmu Agama Islam tersebut dibelakang hari mendorong lahirnya sejumlah pembidangan disiplin ilmu keagamaan seperti Tafsir, Hadits, Fiqih dan sebagainya.
           
Tuntutan untuk belajar bahasa Arab juga sudah nampak dalam pendidikan Islam pada masa Khalifah Umar. dikuasainya wilayah-wilayah baru oleh Islam, menyebabkan munculnya keinginan untuk belajar bahasa Arab sebagai bahasa pengantar diwilayah-wilayah tersebut. Orang-orang yang baru masuk islam dari daerah-daerah yang baru ditaklukan harus belajar Bahasa Arab jika mereka ingin belajar dan mendalami pengetahuan Islam. Oleh karena itu masa ini sudah terdapat pengajaran Bahasa Arab.

C. Pada Masa Kholifah Usman bin Affan
Pada masa khalifah Usman, pelaksanaan Pendidikan Agama Islam tidak berbeda jauh dengan masa sebelumnya. Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada masa ini pendidikannya melanjutkan apa yang telah ada. Sedikit perubahan telah mewarnai pelaksaan pendidikan Islam. Para shahabat yang berpengaruh dan dekat dengan Rasulullah yang tidak diperbolehkan meninggalkan Madinah dimasa Khalifah Umar, diberikan kelonggaran untuk keluar dan menetap didaerah daerah yang mereka sukai. Disitu mereka mengajarkan Ilmu-ilmu yang dimiliki dari Rasul secara langsung. Kebijakan ini besar sekali artinya bagi pelaksanaan Pendidikan Islam didaerah-daerah sebelumnya. Umat Islam diluar Madinah dan Makkah, khususnya dari luar semenanjung Arab, harus menempuh perjalanan jauh yang melelahkan dan lama untuk menuntut Ilmu agama Islam di Madinah. Tetapi sebenarnya sahabat-sahabat besar keberbagai daerah meringankan umat Islam untuk belajar Islam kepada sahabat-sahabat yang tahu banyak Ilmu Islam didaerah mereka sendiri atau didaerah terdekat[4].
           
Usaha kongkrit dibidang Pendidikan  Islam belum dikembangkan oleh Khalifah Usman. Kholifah merasa sudah cukup dengan pendidikan yang sudah berjalan. Namun begitu, satu usaha cemerlang telah terjadi dimasa ini, yang berpengaruh luar biasa bagi pendidikan Islam. Melanjutkan usulan Umar kepada Khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan tulisan ayat-ayat Al-Quran, Khalifah Usman memerintahkan agar mushaf yang dikumpulkan dimasa Abu Bakar, disalin oleh Zaid bin Tsabit bersama  Abdullah bin Zubair, Zaid bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits. Penyalinan ini dilatar belakangi oleh perselisihan dalam bacaan Al-Quran. Menyaksikan perselisihan itu, Hudzaifah bin Yaman melapor kepada Khalifah Usman dan meminta Khalifah untuk menyatukan bacaan Al-Quran. Akhirnya, Khalifah memerintahkan penyalinan tersebut sekaligus menyatukan bacaan Al-Quran dengan pedoman apabila terjadi perselisihan bacaan antara zaid bin Tsabit dengan tiga anggota tim penyusun, hendaknya ditulis sesuai lisan Quraisy karena Al-Quran itu diturunkan dengan lisan quraisy. Zaid bin Tsabit bukan orang quraisy, sedangkan ketiga  orang anggotanya adalah orang quraisy.

Setelah selesai menyalin mushaf itu, Usman memerintahkan para penulis Al-Qur’an untuk menyalin kembali beberapa mushaf untuk dikirim ke Mekkah, Kuffah, Bashrah, dan Syam. Khalifah Utsman sendiri memegang satu mushaf yang disebut mushaf Al-Imam.  Mushaf Abu Bakar dikembalikan lagi ketempat penyimpanan semula, yaitu dirumah Habsah. Khalifah Usman meminta agar umat Islam memegang teguh apa yang tertulis dimushaf yang dikirimkan kepada mereka sedangkan mushaf-mushaf yang sudah ada ditangan umat Islam segera dikumpulkan dan dibakar untuk menghindari perselisihan bacaan Al-Quran serta menjaga keasliannya. Fungsi Al-Quran sangat fundamental bagi sumber agama dan ilmu-ilmu Islam. Oleh karena itu, menjaga keaslian Al-Quran dengan menyalin dan membukukannya merupakan suatu usaha demi perkembangan ilmu-ilmu Islam dimasa mendatang[5].
Seperti Khalifah-khalifah sebelumnya, Khalifah Usman memberikan perhatian besar kepada pengiriman tentara kebeberapa wilayah yang belum ditaklukan. Besar juga hasil yang dipelroleh dari pengiriman ekspedis dimasa ini bagi perluasan kekuasaan Islam, yang mencapai tripoli, ciprus, dan beberapa daerah lain tetapi, gelombang ekspedis berhenti sampai disini karena perselisihan pemerintahan dan kekacauan yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Usman

D. Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Setelah Usman meninggal, kekhalifahan diganti oleh Ali bin Abi tholib sebagai khalifah. Ia dibaiat secara beramai-ramai oleh masyarakat. Ali diangkat sebagai khalifah keempat di masjid Nabawi Madinah pada 24 juni 656 M. sejak awal kekuasaanya, kekhalifahan Ali selalu di selimuti pemberontakan hingga berakhir tragis dengan terbunuhnya khalifah. Pada awal masa pemerintahannya, sudah digoncang peperangan dengan Aisyah (istri nabi) beserta Thalhah dan Abdullah bin Zubair yang berambisi menduduki jabatan khalifah. Peperangan di antara mereka disebut dengan perang jamal (unta) karena Aisyah menggunakan kendaraan unta[6].

       Setelah berhasil mengatasi pemberontakan Aisyah, muncul pemberontakan lain sehingga masa kekuasaan khalifah Ali tidak pernah mendapatkan ketenangan dan kedamaian. Mu’awiyah sebagai gubernur Damaskus memberontak untuk menggulingkan kekuasaan Ali. Ali terpaksa harus menghadapi peperangan lagi melawan mu’awiyah dan pendukungnya yang terjadi di Shiffin. Tentara Ali sudah hampir pasti dapat mengalahkan tentara mu’awiyah, ketika akhirnya mu’awiyah mengambil siasat untuk mengadakan tahkim, penyelesaian dengan adil dan damai. Semua anggota Ali menolak, tetapi atas desakan sebagian tentaranya, ia menerima juga. Namun, tahkim malah menimbulkan kekacauan karena mu’awiyah bersikap curang. dengan tahkim mu’awiyah berhasil mengalahkan Ali, dan akhirnya mendirikan pemerintahan tandingan di Damaskus[7].

            Sementara itu, sebagian tentara ali  menentang keputusan dengan cara tahkim. Karena tidak setuju, mereka meninggalkan Ali mereka membentuk kelompok sendiri sebagai kelompok khawarij. Golongan ini selalu merongrong kewibawaan Ali kekuasaan Ali sampai akhirnya beliau mati terbunuh seperti yang dialami Usman. Sistem pendidikan pada masa Khulafaarrosyidin dilakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum dilembaga kuttab para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majlis pendidikan masing-masing, sehingga pada masa Abu Bakar misalnya lembaga pendidikan kuttab mencapai tingkat kemajuan yang berarti.
         
          Kemajuan lembaga kuttab ini terjadi ketika masyarakat Muslim telah menaklukan beberapa daerah dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan dikuttab mereka melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi yakni dimasjid. Dimasjid ini ada dua tingkat, yakni tingkat menengah dan tingkat tinggi. Yang membedakan diantara pendidikan itu adalah kualitas Gurunya. Pada tingkat menegah gurunya belum mencapai status Ulama Besar, sedangkan pada tingkat tinggi para pengajarnya adalah ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan integritas kesalehan dan kealiman yang diakui masyarakat.
Keempat khalifah inilah yang populer dengan sebutan Khulafaur Rasyidin. Pada masa Khulafaur Rasyidin wilayah islam telah meluas kearah jazirah Arab, yaitu meliputi Mesir, Persia, Syria dan Irak. Perluasan  wilayah selalu dibarengi dengan aktivitas dakwah dan pendidikan secara teratur, terprogram dan sistematik dengan mengikut sertakan guru-guru agama yang handal. Merekalah yang melopori aktivitas pendidikan dengan mendidirikan lembaga-lebaga pendidikan. Beberapa pendidikan di Mekkah, Madinah, Basrah, Kufah, Damaskus dan Mesir. Sementara itu umat Islam sangat membutuhkan pelajaran agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Pada umumnya umat Islam masa itu tidak puas dengan belajar pada sedikit guru. Mereka menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk mendengarkan seorang guru yang mengajarkan beberapa hadist atau bahkan untuk memperoleh satu hadis saja. Perjalanan menelusuri pusat pendidikan Islam dikenal dengan sebutan “rihlah ilmiyyah”. Aktivitas ini selain menjadi ilmu dapat tersebar ke seluruh  wilayah Islam, juga menjadi bukti bahwa pendidikan Islam pada masa Khulafaur Rasyidin tidak dibatasi dengan sister sekolah (school without wall). Di belakang hari aktivitas ini mendorong lahirnya pembei dangan sejumlah disiplin ilmu agama, seperti; tafsir, hadis, fikih, teologi, (kalam) dan lain-lain. Dikota-kota inilah pendidikan Islam berkembang secara pesat.
Pada mulanya, pendidikan Islam pada masa Khulafaur Rasyidin dilakukan secara mandiri atau perorangan yang ditandai berdirinya majelis-majelis pendidikan oleh para sahabat. Selain didirikan masjid di beberapa kota penting umat Islam pada masa ini lembaga pendidikan sejenis “kuttab” mencapai tingkat kemajuan yang berarti. Kurikulum atau materi pelajaran pun ditentukan sendiri oleh permakarsanya, tetapi yang lebih dominan adalah pembelajaran menulis dan membaca Al-Qur’an. Begitu pinting peran lembaga pendidikan ini, sehingga para ulama berpendapat bahwa mengajarkan Al-Qur’an merupakan fardu kifayah.
Materi pendidikan yang diajarkan pada masa Khalifaurrasyidin sebelum masa umar bin khattab untuk kuttab adalah :
·         Belajar membaca dan menulis
·         Membaca al-Quran dan menghafalnya
·         Belajar pokok-pokok Agama, seperti cara wudlu, sholat, puasa dan sebagainya[8]
Pada masa pemerintahan Umar bin Khatthab, pemerintahan secara resmi menambahkan kurikulum untuk pembelajaran di Kuttab. Ketika itu Khalifah Umar mengintruksikan perlunya pembelajaran berenang, mengenadarai onta/kuda, memanah, membaca dan menghafal syair-syair yang mudah. Materi pembelajaran di Kuttab berkembang menjadi;
a.       Belajar menulis dan membaca
b.      Membaca dan menghafal Al-Qur’an
c.       Pokok-pokok agama
d.      Berenang
e.       Mengendarai onta/kuda
f.       Memanah
g.      Membaca dan menghafal syair-syair yang mudah[9]
Tentu, dalam pelaksanaannya kurikulum tersebut disesuaikan dengan kondisi daerahnya. Pelajaran berenang, umpamanya hanya dapat dilaksanakan didaerah atau dikota-kota yang mempunyai sungai seperti Irak, Syaria, dan Mesir.
       Pusat-pusat pendidikan pada masa khulafaurrasyidin tidak hanya dimadinah, tetapi menyebar diberbagai kota, seperti kota Maakkah dan Madinah, kota Bashrah dan Kuffah, kota Damsyik dan Palestina dan kota Fisstat Mesir. Dipusat-pusat daerah inilah pendidikan Islam berkembang secara pesat.
Ketika Umar bin Khattab diangkat menjadi Khalifah ia mengintruksikan pada penduduk kota agar anak-anak diajarkan sebagai berikut :
·         Berenang
·         Mengendarai onta
·         Memanah
·         Membaca dan menghafal syair-syair yang mudah dan peribahasa
Sedangkan materi pendidikan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari :
·         Al-Quran dan Tafsirnya
·         Hadits dan mengumpulkan
·         Fiqih
           Ilmu-ilmu yang dianggap duniawi dan ilmu Filsafat belum dikenal sehingga pada masa itu tidak ada. Hal ini dimungkinkan mengingat konstruksusial masyarakat ketika itu masih dalam pengembangan wawasan keislaman yang lebih difokuskan pada pemahaman al-Quran dan Hadits.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Dari isi makalah diatas dapat disimpulkan pada masa Abu Bakar adalah masa mulai munculnya nabi-nabi palsu maka ia memusatkan perhatiannya untuk memberantas orang-orang yang mengaku nabi, dan juga mulai memperluas (ekspansi) daerah kekuasaan Islam. Sedangkan pada masa Umar bin Khatab ini Islam mengalami kejayaan dengan meluasnya daerah kekuasaan islam, Umar pun memberikan kebijakan kepada para panglimanya untuk mendirikan masjid-masjid di setiap daerah yang sudah di taklukannya masjid tersebut selain digunakan untuk ibadah juga di gunakan untuk kepentingan pendidikan.
 Dan  Masa Ustman bin Affan mulai terjadinya pengiriman guru-guru untuk membantu pendidikan di daerah-daerah yang sudah dikuasai Islam pada masa itu, juga mulai terjadinya pembukuan Al­-Qur’an  dan mulai di terapkannya mushaf ustmani sebagai mushaf Al-Qur’an. Sedangkan Masa Ali bin Abi Tholib sejak ia memerintah banyak sekali pemberontakan-pemberontakan yang terjadi antara lain pemberontakan Aisyah beserta thalhah dan Abdullah bin Zubair yang berambisi menduduki kursi kekhalifahan juga pemberontakan yang di lakukan mu’awiyah yang juga sama ingin menduduki kursi ke khalifahan.
Materi pendidikan yang diajarkan pada masa Khalifaurrasyidin sebelum masa umar bin khattab untuk kuttab adalah Belajar membaca dan menulis Membaca al-Quran dan menghafalnya. Belajar pokok-pokok Agama, seperti cara wudlu, sholat, puasa dan sebagainya



DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Usairy Ahmad, Sejarah Islam, jakarta; Akbar Media, 2009,
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2007.
Bastoni Hepi Andi, Sejarah Para Khalifah, Jakarta; Pustaka Al-kautsar, 2008
Hasan Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta; Kalam Mulia
Khoriyah, Reorientasi wawasan Sejarah Islam, Yogyakarta: Teras, Cet I 2012.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, 1996
Thoha As’ad, Sejarah Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ihsan Madani, 2011.
www.google.com/Pendidikan.Islam.Pada.Masa.Khulafarosyidin/Diakses.29september2012.



[1] Hasan Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta; Kalam Mulia, Hal, 393.
[2]  Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, Yogyakarta, Teras 2012, Hal 55.
[3] W­­­ww.google.com/Pendidikan.Islam.Pada.Masa.Khulafarosyidin/Diakses.29september2012
[4] Thoha As’ad, Sejarah Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ihsan Madani, 2011. Hal 16-17.

[5] Ibid,. Hal  19.
[6] Al-‘Usairy Ahmad, Sejarah Islam, jakarta; Akbar Media, 2009, hal 142.

[7] Bastoni Hepi Andi, Sejarah Para Khalifah, Jakarta; Pustaka Al-kautsar, 2008,  hal 3.
[8]  Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, 1996,  hal, 42.
[9]  Ibid, hal 45.