Minggu, 24 Mei 2015

artikel hikmah puasa perspektif psikologi pendidikan



HIKMAH BERPUASA PERSPEKTIF PSIKOLOGI PENDIDIKAN


pr.jpg
AHMAD ROZALI
MAHASISWA STAIN SAS BABEL


Puasa diperintahkan Allah untuk menjadikan manusia untuk bertaqwa. Dengan berpuasa seseorang akan selalu dididik untuk selalu bertaqwa kepada Allah dimanapun berada, baik ketika ada banyak orang atau saat sendiri. Seseorang yang berpuasa, tidak akan mudah terombang ambing oleh godaan dan rayuan kemewahan dunia karena seseorang yang berpuasa telah dibentengi oleh iman dan taqwa. Orang yang bertaqwa akan selalu merasa setiap perbuatan yang dilakukan selalu dilihat oleh Allah SWT dimanapun dan kapanpun berada. Sehingga manusia akan selalu melaksanakan perintah dan menjauhi larangann-Nya, dengan rasa tulus dan ikhlas hanya karena mengharap ridha dari Allah SWT semata. Orang yang bertakwa akan selalu menghiasi pribadinya oleh cahaya iman, amaliah dan gaya hidup sehari-hari dengan akhlak terpuji.
Puasa adalah mencegah dari perkara yang membatalkan sehari penuh, mulai dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari dengan syarat-syarat yang telah tertulis.”
Selain itu orang yang berpuasa dengan ikhlas, akan senantiasa melakukan ibadah puasa dengan hanya mengharap ridha Allah, karena sejatinya ibadah puasa adalah ibadah yang syarat hikmah dan nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. Dan diantara nilai pendidikan yang dapat diambil dari ibadah puasa adalah sebagai berikut:
Puasa Mendidik Manusia Untuk Bersifat Jujur
Jujur artinya memberitahukan menuturkan sesuatu dengan sebenarnya. Seseorang dikatakan jujur adalah apabila seseorang tersebut bertindak sesuai dengan kenyataannya. Dengan kejujuran manusia meraih kepercayaan orang lain. Dengan kepercayaan tersebut akan banyak terbuka jalan dalam kehidupannya.
Dalam ibadah puasa banyak mengajarkan atau melatih seseorang yang menjalankan agar bersifat jujur. Kejujuran yang dituntut dalam ibadah puasa adalah kejujuran terhadap diri sendiri maupun jujur kepada orang lain. Nilai kejujuran dalam ibadah puasa dapat dilihat dari Hadis Nabi SAW yang artinya ”Dari Abu Hurairah ra.berkata bahwasannya Rasulullah saw bersabda: .Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan pengalamannya maka ia tidak ada kebutuhan bagi Allah dalam hal ia meninggalkan makannya dan minumnya.”(HR Bukhari)
Mengingat begitu pentingnya sifat jujur dalam diri manusia, maka hendaknya manusia membiasakan diri berkata jujur dan berbuat sesuai dengan kejujuran. Dengan pembiasaan itu, nilai kejujuran akan tertanam kuat dalam diri seseorang tersebut.
Puasa Mendidik Manusia Untuk Bersifat Sabar
Sabar artinya tahan menderita yang tidak disenangi, dengan ridho dan lapang dada serta menyerahkan diri hanya kepada Allah. Sabar dimaknai usaha menahan diri dari hal-hal yang tidak disukai dengan sepenuh kerelaan dan kepasrahan. Menurut Al-Ghazali dalam bukunya Ahmad Syarifudin sabar dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
·         Sabar dalam ketaatan yaitu menahan kesusahan dan kesukaran dalam mengerjakan amal ibadah.
·         Sabar dalam kemaksiatan yaitu menahan diri dari mengerjakan kemaksiatan,  kemungkaran dan kedurhakaan.
·         Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan yaitu tabah, tidak mengeluh, serta tidak berputus asa atas musibah dan berbagai musibah yang menimpanya.
Dan ketiga macam sabar di atas terkandung dalam satu aktivitas yaitu ketika seseorang melaksanakan ibadah puasa. Karena ibadah puasa sangat identik dengan kesabaran. Dan kesabaran merupakan inti dari ibadah puasa. Orang yang menunaikan puasa berarti telah melaksanakan pengawasan pribadi dengan menjauhi makan, minum, kesenangan badaniah, nafsu syahwat dan hal-hal terlarang lainnya dengan penuh kesabaran. Itulah sebabnya puasa yang dibarengi dengan ketulusan hati untuk mencari keridhoan Allah SWT akan mampu menjadikan pelakunya berjiwa sabar dan selalu teguh pendirian.
Selama orang itu berpuasa dengan penuh kesabaran, dan puasanya tidak rusak oleh perbuatan-perbuatan tercela dan nafsu-nafsu buruk. Sebab, termasuk aspek yang paling sulit dari ibadah puasa adalah berlaku sabar di dalam mengosongkan jiwa dari nafsu badaniah. Karenanya, seseorang yang berpuasa disertai sikap kesabaran, niscaya kecenderungan-kecenderungan nafsu badaniah yang melekat dalam jiwanya secara perlahan lahan akan tertekan dan dibuat pasif.
Puasa Menjadikan Manusia Untuk Lebih Disiplin
Disilpin juga dapat diartikan melakukan segala sesuatu sesuai atau tepat waktu dan berdasarkan peraturan yang harus ditaati. Seseorang dikatakan disiplin jika menjalankan peraturan yang ada dan tidak melanggarnya. Islam mengandung berbagai ajaran, baik ritual ataupun non ritual yang amat memerlukan kedisiplinan, sebab dari situ bangunan jiwa akan membentuk keteraturannya.
Misalnya ketika memasuki Ramadhan yang amat potensial untuk membentuk jiwa yang disiplin. Puasa Ramadhan merupakan latihan disiplin diri. Ketika sedang berpuasa manusia dilatih agar lebih disiplin. Seperti disiplin untuk mentaati waktu-waktu yang telah ditetapkan misalnya dalam hal makan dan minum. Seseorang yang berpuasa tidak dapat makan dan minum semaunya, tetapi harus makan dan minum kalau sudah tiba waktunya berbuka.
Puasa Dapat Mengendalikan Emosi (Marah)
Emosi adalah perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai pebuatan manusia sehari-hari yang lebih mendalam, lebih luas dan lebih terarah. Ketika amarah menguasai serta melingkupi diri manusia, maka manusia akan mengambil bentuk sifat yang angkuh atau sombong serta menyingkirkan segala hambatan yang dapat mencegahnya mempengaruhi kehendak manusia, karena itu manusia dapat menghasut manusia bahkan mencelakakan lawan-lawannya tanpa pertimbangan sama sekali. Hal ini juga dapat mendorong manusia untuk melakukan segala kejahatan yang berakibat fatal dalam kehidupan.
Kemarahan yang berlebihan sehingga menimbulkan kejahatan adalah perbuatan yang buruk. Sifat buruk hanya akan menyebabkan penderitaan, karena pada akhirnya dengan kemarahan tidak dapat menyelamatkan jiwa. Sikap menahan amarah, termasuk pemikiran yang bernilai luhur. Karena itu orang-orang yang mampu menahan amarahnya dipuji dan dicintai Allah.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berpuasa dituntut untuk selalu dapat memelihara emosinya. Jangan sampai emosi itu lepas kontrol. Ibadah puasa adalah ibadah yang sangat istimewa dan mulia. Maka jangan sampai kemuliaan ibadah puasa itu dirusak oleh perilaku syetan dan tidak beradab. Dengan membiarkan emosi tidak terkontrol, maka akan dapat mengakibatkan nilai ibadah puasa lenyap.
Puasa Dapat Meningkatkan Kepedulian Sosial
Manusia merupakan makhluk sosial, yaitu manusia tidak akan bisa hidup tanpa bantuan dari orang lain, walaupun manusia itu sangat kaya. Dari situ hendaknya manusia selalu memperhatikan kehidupan orang lain disekitarnya dengan bersimpati kepadanya. Simpati ialah suatu kecenderungan untuk ikut seta merasakan segala sesuatu yang sedang dirasakan orang lain. Ketika sedang berpuasa manusia bisa merasakan bagaimana susahnya orang-orang yang kelaparan sehingga timbul rasa simpati di dalam dirinya. Dengan adanya sifat simpati tersebut seseorang bisa berempati kepada orang lain. Sehingga seseorang pasti marasa kasihan jika melihat atau mengetahui saudaranya yang sedang mengalami kesusahan dan berusaha untuk menolongnya.
Diantara hikmah ibadah puasa adalah bahwa ibadah puasa bisa dijadikan sebagai sarana pendidikan sosial terutama pendidikan rasa tanggungjawab baik tanggungjawab pribadi maupun tanggungjawab sosial. Diantara bentuk dari tanggungjawab itu sendiri adalah mencakup adanya aspek sosial dalam pengaplikasian nilai puasa pada kehidupan nyata sehari-hari. Sesungguhnya tanggungjawab sosial dan tanggung jawab pribadi bagaikan dua sisi mata uang logam. Ini berarti bahwa dalam kenyataannya kedua jenis tanggungjawab ini tidak dapat dipisahkan, sehingga tiadanya salah satu dari keduanya akan mengakibatkan peniadaan yang lain. Dengan kata lain jika tidak ada tanggungjawab pribadi, maka tidak akan mungkin ada tanggungjawab sosial.
Solidaritas sosial ini begitu nyata dan terasa dalam praktek puasa. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa puasa memiliki akses besar terhadap tanggungjawab puasa yaitu adanya persamaan. Persamaan ini mempunyai implikasi pada keadilan. Keadilan terbukti oleh pemerataan. Persamaan ataupun keadilan juga pemerataan sebagai implikasi dari puasa yang dengan sangat jelas terlihat dari praktek puasa.
Perbuatan baik terhadap orang lain, akan berdampak pula pada kebaikan terhadap diri sendiri. Dampak itu akan terlihat sebagai cerminan atau pantulan dari kesalehan yang dipetik dari cara manusia memahami ibadah puasa.
Puasa Dapat Meningkatkan Kecerdasan
Seseorang dikatakan cerdas kalau yang bersangkutan menjalankan fungsi pikir, sehingga dapat memecahkan masalah dengan cepat dan tepat. Dalam kamus Psikologi James Drever kecerdasan (intelligence) adalah kecakapan untuk menemui situasi-situasi baru atau belajar melakukannya dengan tanggapan-tanggapan menyesuaikan diri dengan yang baru. Jadi kecerdasan adalah kemampuan atau kecakapan yang dimiliki manusia dalam memecahkan suatu masalah. Kecerdasan terbagi menjadi berbagai macam, yaitu:
1. Kecerdasan Intelektual atau IQ (Intelligence Quotient)
IQ adalah perbandingan umur batin dengan umur kronologis yang dinyatakan dengan persen. Jadi kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan berfikir seseorang. Kecerdasan intelektual memiliki peran dalam memecahkan dan menganalisis suatu masalah dan untuk berani atau tidaknya dalam mengambil keputusan ditentukan oleh kecerdasan emosi.
2. Kecerdasan Emosi atau EQ (Emotional Quotient)
Menurut Goleman kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya pada saat menghadapi situasi menyenangkan maupun yang menyakitkan. Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengelola dan mengontrol emosinya dalam situasi apapun.
3. Kecerdasan Spiritual atau SQ (Spiritual Quotient)
SQ adalah pengetahuan akan kesadaran diri, makna hidup, tujuan hidup atau nilai-nilai tertinggi. Kecerdasan ini berupa kemampuan mengelola “suara hati” sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan kita bekerja sama dengan lancar menuju sasaran yang lebih luas dan mendalam.
Jadi kecerdasan spiritual adalah kemampuan dalam memahami dan mengetahui makna dan tujuan hidup sehingga mempunyai tujuan yang lebih bermakna. Kecerdasan di atas akan tidak bersifat stabil, namum ketiga macam kecerdasan tersenantiasa berubah dan terjadi peningkatan setiap waktu. Banyak cara yang dapat dilakukan manusia guna mengasah dan meningkatkan kecerdasan. Salah satunya adalah dengan berpuasa.
Dengan mengendalikan makan, akan tercipta konsentrasi dan pemusatan pikiran yang berarti peningkatan IQ. Ketika kenyang, banyak darah yang tersalur untuk melakukan proses pencernaan. Saat seseorang berpuasa dan ketika perut kosong, maka volume darah di bagian pencernaan menjadi berkurang dan dapat digunakan untuk melayani keperluan lain terutama untuk melayani otak, sehingga cara berfikir menjadi lebih cemerlang.
4. ESQ (Emotional n Spiritual & Quotient)
Puasa juga merupakan sarana untuk memperbaiki tubuh manusia karena puasa mewajibkan hati bersih, niat yang tulus dan perilaku mental yang baik agar seseorang dapat memperoleh hasil puasa yang optimal. Seseorang yang sedang berpuasa akan senantiasa memperbaiki dirinya ke arah yang lebih baik.
Dari penjelasan tersebut jelaslah bahwa dengan berpuasa, akan dapat meningkatkan kecerdasan. Manusia hendaknya selalu melatih dan meningkatkan kecerdasan yang dimilikinya sehingga kecerdasannya dapat berfungsi secara optimal.
Dan cukup banyak hikmah berpuasa untuk mendidik seseorang, karena itu sebenarnya kewajiban puasa itu tiada lain merupakan kebutuhan manusia sendiri dalam menghadapi segala macam tantangan kehidupan.

ARTIKEL SAYA



KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN

AHMAD ROZALI
MAHASISWA STAIN SAS BABEL PAI B



Dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan sampai dengan pemerintahan sering kali kita dengar sebutan pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan. Ketiga kata tersebut ini memang memiliki hubungan yang berkaitan satu dengan lainnya.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan pendidikan di negara kita Indonesia ini, maka kewajiban dan tanggung jawab para pemimpin pendidikan sebenarnya sangatlah besar umumnya kepala sekolah khususnya harus mengalami pengembangan dan perubahan pula.
Kepemimpinan ini menurut konsep Islam sebenarnya memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dan kokoh. Ia tidak dibangun tidak saja oleh nilai-nilai transendental, namun telah dipraktekkan berabad-abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW, para Sahabat dan khulafa’ al-rasyidin.
Kepemimpinan dalam pendidikan berkaitan dengan masalah kepala sekolah dalam meningkatkan kesempatan untuk mengadakan pertemuan secara efektif dengan para guru-guru dan situasi yang kondusif. Jadi, perilaku kepala sekolah harus mendorong kinerja para guru dengan menunjukan rasa bersahabat dekat dan penuh pertimbangan terhadap para guru, baik sebagai individu maupun secara berkelompok.
Dalam kepemimpinan yang demokratis seperti sekarang ini, pengawasan atau supervisi itu harus bersifat demokratis pula. Suverpisi merupakan kependidikan secara kooperatif. Dalam tingkat ini, supervisi itu bukanlah suatu pekerjaan yang dipegang oleh seorang petugas, melainkan merupakan pekerjaan-pekerjaan bersama yang dikoordinasikan. Tanggung jawab tidak dipegang sendiri oleh supervisor, melainkan dibagikan kepada para anggota sesuai dengan tingkat, keahlian, dan kecakapan masing-masing.
Supervisor adalah seorang yang profesional dalam menjalankan tugasnya. Ia bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Masalah penting yang sangat perlu mendapatkan perhatian bagi para pengawasan dan kepala sekolah selaku supervisor ialah untuk menemukan cara-cara bekerja secara kooperatif yang efektif. Kemajuan dalam situasi belajar murid-murid tidak dapat dicapai dengan memusatkan perhatian kepada teknik-teknik mengajar semata-mata.   
Menutut Wahjosumidjo dalam praktek organisasi, kata “memimpin” mengandung konotasi atau makna menggerakan, mengarahkan, mengarahkan, membimbing, melindungi, membina, memberikan keteladanan, memberikan dorongan dan memberikan bantuan dan lain sebagainya.
Untuk memajukan pengajaran dan mutu pendidikan, supervisor harus mau memajukan kepemimpinan yang mengembangkan program sekolah, dan memperkaya lingkungan bagi semua guru, mengusahakan kondisi-kondisi yang memungkinkan orang-orang dapat bermufakat tentang tujuan-tujuan pendidikan dan cara-cara pelaksanaannya dan memperoleh sumber-sumber yang memungkinkan pertumbuhan yang individual maupun kelompok dalam pandangan dan kecakapan mereka.
Seorang supervisor sebanarnya hendak memiliki ciri-ciri pribadi sebagai guru yang baik, memiliki pembawaan cerdas yang tinggi, memiliki pandangan yang luas mengenai proses pendidikan dalam masyarakat. Dan supervisor juga hundaknya bekerja sama dengan guru-guru, karna tugasnya adalah membantu guru yang lain dalam memecahkan masalah yang dihadapinya di kelas maupun di luar kelas.
Para pemimpin pendidikan bukan masanya lagi untuk memaksa bawahannya, menakut-nakuti dan melumpuhkan kreatifitas dari staff-staffnya, sebab sikap ini tidak akan dapat menciptakan situasi dan relasi dimana mereka merasa aman dan tenang untuk mengembangkan kreatifitasnya. Kedepannya diharapkan para pengelola sekolah dan kepala madrasah khusunya dapat melakukan fungsinya sebagai supervisor, terlibat langsung dengan permasalahan-permasalahan yang dialami oleh guru di kelas atau lingkungan sekolah, ikut berpartisipasi dalam pengembangan madrasah dan sekolah dari aspek yang paling dasar, siswa dan guru.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan oganisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan.
Menurut pandangan Islam, kepemimpinan merupakan amanah dan tanggung jawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada angota-anggota yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Jadi, dipertanggungjawabkan kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat horizontal-formal tetapi bersifat vertical-moral.
Tugas kepemimpinan ialah untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajemen seperti yang telah disebutkan sebelumnya yang terdiri dari: merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, dan mengawasi.
Terlaksananya tugas-tugas tersebut tidak tercapai hanya oleh pemimpin seorang diri saja, tetapi cara dengan menggerakan orang-orang yang dipimpinnya. Dan agar orang-orang yang dipimpinnya bekerja secara efektif seorang pemimpin di atas harus memiliki inisiatif dan kreatif harus selalu memperhatikan hubungan manusiawi.
Fungsi kepemimpinan itu pada pokoknya adalah menjalankan wewenang kepemimpinan, yaitu menyediakan sistem komunikasi, memlihara kesedian bekerja sama dan menjamin kelancaran serta keutuhan organisasi atau perusahaan yang dipimpin.
Dan Bicara tentang kepemimpinan khususnya kepala sekolah, tipe-tipe kepemimpinan yang pokoknya ada tiga sebagai berikut:
Pertama kepemimpinan yang otokratis, kepemimpinan ini bertindak sebagai diktator terhadap anggota-anggotanya baginya, memimpin adalah menggerakan dan memaksa kelompok. Kekuasaan pemimpin yang otokratis hanya dibatasi undang-undang saja. Dan pemimpin yang otokratis tidak menghendaki rapat-rapat atau musyawarah. Berkumpul atau rapat hanyalah untuk menyampaikan instruksi-instruksi setiap perbedaan pendapat di antara anggota-anggota kelompoknya diartikan sebagai kepicikan, perkembangan, atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi yang telah ditetapkannya.
Kedua kepemimpinan yang laissez faire, dalam kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan pimpinan. Tipe ini diartikan membiarkan orang-orang berbuat sekehendaknya. Pemimpin yang temasuk tipe ini sama sekali dan memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan anggota-anggotanya.
Di dalam tipe kepemimpinan ini, biasanya struktur organisasinya tidak jelas dan kabur. Segala kegiatan anpa rencana yang terarah dan tanpa pengawasan dari pimpinan. Dan oleh karna itu, tipe kepemimpinan ini sering kali dianggap sebagai seorang pemimpin yang kurang memiliki rasa tanggung jawab yang wajar terhadap organisasi yang dipimpinnya.
Ketiga kepemimpinan yang demoktatis, pemimpin yang betipe demokratis menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin yang di tengah-tengah anggota kelompoknya. Hubungan dengan anggota kelompok bukan sebagai majikan terhadap buruhnya, melainkan sebagai saudara tua diantara teman-teman sekerjanya, atau sebagai kakak terhadapa saudara-saudaranya.
Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi angota-angotanya agar bekerja secara koopratif untuk mencapai tujuan bersama.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaannya, bukan kecerdasannya tapi dari kekuatan pribadinya. Seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras memperbaiki dirinya sebelum sebuk memperbaiki orang lain.
Pemimpin juga bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam dari seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat dan bisa mengayomi para bawahannya, pemimpin yang baik adalah orang yang dapat melangkah dengan tapak kaki tanpa merusak citranya. Dan pemimpin yang efektif adalah memberikan contoh bukan perintah. Pergunakanlah tipe kepemimpinan yang ada sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, agar tujuan kelompok atau organisasi dapat tercapai dengan cara yang efektif dan efesien.
Seorang pemimpin tidak disarankan untuk memiliki sifat yang egois, karena seorang pemimpin yang baik harus menerima kritik dan saran dari bawahannya.
“Contoh, Teladan, itulah bentuk kepemimpinan terbaik” (Albert Schweitzer) (*)

Senin, 20 Oktober 2014

CONTOH PROPOSAL KUALITATIF ROZALI



BAB I
 PENDAHULUAN
A Penegasan Istilah
Penegasan istilah adalah penjelasan tentang istilah-istilah yang menjadi kata-kata kunci (key words) dalam penelitian. Untuk mempermudah dan mempertegas pemahaman tentang pemilihan judul, penulis perlu menjelaskan sekaligus menegaskan istilah-istilah yang terkandung di dalamnya. Nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku. Nilai pendidikan Islam adalah nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam yang berusaha memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya kepribadian yang seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian muslim. Sedangkan nilai-nilai pendidikan Islam merupakan sifat-sifat atau hal-hal yang melekat pada pendidikan Islam yang digunakan sebagai dasar manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu mengabdi pada Allah SWT, baik itu pendidikan keimanan, akhlak (tingkah laku) individu, maupun kehidupan beragama dengan berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Sedangkan dalam Kamus Induk Istilah Ilmiah, tradisi adalah adat kebiasaan dan kepercayaan yang secara turun temurun dipelihara. Pemaknaan tradisi tersebut bukan sebagai pijakan untuk mengartikan makna yang dimaksudkan, tetapi hanya sebagai bahan pertimbangan untuk sebuah penegasan.
Tradisi Sedekah Kampung merupakan upacara adat yang dilakukan untuk mengungkapkan rasa syukur atas anugerah yang telah diberikan oleh Sang Pencipta, sekaligus memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilakukan dengan berbagai ritual yang terkandung dalam tradisi atau kebiasaan masyarakat kampung yang telah mengakar.
Setelah memberikan penegasan istilah, diharapkan dapat mempermudah penelitian terhadap nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi sedekah kampung di Desa Kundi.

B. Alasan Pemilihan Judul
Pendidikan Islam merupakan topik yang sering dibahas dan dikemukakan ke muka umum. Namun demikian, akan menarik apabila kajian tersebut di lakukan dalam sebuah tradisi keagamaan. Terutama dari aspek nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung di dalamnya. Untuk itulah, seiring dengan semangat Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang menyemarakkan sebagai kepulauan negeri Melayu yang tertuang dalam semboyan Negeri Serumpun Sebalai, dan seiring dengan surutnya tradisi yang bernuansa nilai kemelayuan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang sering diidentikkan dengan ajaran Islam, juga sebagai usaha untuk menyongsong Visit Babel Archiepelago 2010, penulis merasa tertarik untuk meneliti salah satu tradisi di Kepulauan Bangka Belitung yang hampir tidak dikenal lagi. Untuk penelitian ini penulis memfokuskannya pada nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi Sedekah Kampung di Desa Kundi. Adapun judul yang penulis angkat adalah Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Sedekah Kampung di Desa Kundi Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat.
C. Latar Belakang
Setiap bangsa dan suku bangsa tentunya memiliki agama sebagai kepercayaan yang mempengaruhi manusia sebagai individu, juga sebagai pegangan hidup. Di samping agama, kehidupan manusia juga dipengaruhi oleh kebudayaan. Kebudayaan menjadi identitas dari bangsa dan suku bangsa. Suku tersebut memelihara dan melestarikan budaya yang ada.[1] Kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia menurut Alisyahbana; merupakan suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[2] Dalam masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain saling berkaitan hingga menjadi suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.[3]
Tradisi sebagai salah satu bagian dari kebudayaan menurut pakar hukum F. Geny adalah fenomena yang selalu merealisasikan kebutuhan masyarakat. Sebab yang pasti dalam hubungan antar individu, ketetapan kebutuhan hak mereka, dan kebutuhan persamaan yang merupakan asas setiap keadilan menetapkan bahwa kaidah yang dikuatkan adat yang baku itu memiliki balasan materi, yang diharuskan hukum. Kaidah ini sesuai dengan naluri manusia yang tersembunyi, yang tercermin dalam penghormatan tradisi yang baku dan perasaan individu dengan rasa takut ketika melanggar apa yang telah dilakukan pendahulu mereka.[4]
Menurut Prof. Mr. Hardjono dalam I Nyoman Beratha memberikan ulasan singkat bahwa tradisi adalah suatu pengetahuan atau ajaran-ajaran yang diturunkan dari masa ke masa. Ajaran dan pengetahuan tersebut memuat tentang prinsip universal yang digambarkan menjadi kenyataan dan kebenaran yang relatif. Dengan demikian segala kenyataan dan kebenaran dalam alam yang lebih rendah itu adalah peruntukan (application) daripada prinsip-prinsip universal.[5] Sedangkan menurut Dr. Harapandi Dahri, tradisi didefinisikan sebagai berikut:
Tradisi adalah suatu kebiasaan yang teraplikasikan secara terus-menerus dengan berbagai simbol dan aturan yang berlaku pada sebuah komunitas. Awal-mula dari sebuah tradisi adalah ritual-ritual individu kemudian disepakati oleh beberapa kalangan dan akhirnya diaplikasikan secara bersama-sama dan bahkan tak jarang tradisi-tradisi itu berakhir menjadi sebuah ajaran yang jika ditinggalkan akan mendatangakan bahaya.[6]
Tradisi-tradisi tersebut dapat disaksikan pada; ’Upacara Tawar Laut/Ketupat Laut’, ’Tahun Baru Cina’, ’Sembahyang Kubur Cina’, ’Sembahyang Pantai’, ’Kawin Massal’, ’Perang Ketupat’, ’Mandi Belimau’, ’Sedekah Kampung’, ’Rebo Kasan’, ’Nganggung’ dan lainnya yang dilakukan di Kepulauan Bangka Belitung. Tradisi ini dilakukan sebagai pengungkapan atas rasa syukur terhadap anugerah yang telah diberikan oleh Sang Pencipta, yang kental dengan nuansa keagamaan. Pewarisan tradisi tersebut dapat terjadi melalui pertunjukkan upacara adat pada suatu masyarakat.
Sejalan dengan pengertian di atas, upacara di sini merupakan sumber pengetahuan tentang bagaimana seseorang bertindak dan bersikap terhadap suatu gejala yang diperolehnya melalui proses belajar dari generasi sebelumnya dan kemudian harus diturunkan kepada generasi berikutnya. Ritual keagamaan yang dibungkus dengan bentuk tradisi ini dilakukan secara turun temurun dan berkelanjutan dalam periodik waktu tertentu, bahkan hingga terjadi akulturasi dengan budaya lokal.[7] Seperti apa yang diperlihatkan masyarakat Bangka Belitung dalam pengungkapan rasa syukur atas anugerah yang diberikan oleh Sang Pencipta tersebut.
Kajian penelitian ini difokuskan pada tradisi Sedekah Kampung di Desa Kundi Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat, yang telah melakukan tradisi Sedekah Kampung selama puluhan tahun, yang diwariskan oleh nenek moyang. Perayaan ini biasa dilaksanakan penduduk Desa Kundi setiap tahun bertepatan dengan bulan Maulud (Rabiul Awwal). Biasanya perayaannya berlangsung selama 2 hari, yaitu pada hari Sabtu dan Minggu. Perayaan ini dilaksanakan setelah lima belas hari bulan di langit tahun Hijriyah.[8] Sedekah Kampung seperti halnya tradisi-tradisi lainnya merupakan bagian dari rumpun Pesta Adat yang dikenal dan banyak dilakukan di wilayah pedesaan, yang dalam pelaksanaannya tidak telepas dari nuansa keagamaan.[9]
Terlihat dalam pelaksanaannya (selama dua hari), proses dimulai dengan arak-arakan masyarakat menuju Istana[10] untuk melaksanakan ritual upacara permohonan izin melaksanakan Sedekah Kampung. Setelah upacara permohonan izin kepada leluhur, serta setelah naber dan nangkel kampung selesai, kemudian dukun (tetua adat) kembali kekediamannya. Sedangkan arak-arakan masyarakat dilanjutkan dengan penjemputan peserta khataman Al-Qur’an menuju masjid untuk melaksanakan tamat ngaji (betamat).[11] Setiap arak-arakan yang dilakukan, baik arak-arakan tamat ngaji dan sunatan selalu diiringi dengan semarang (selawatan barzanji).[12] Upacara ini dilakukan sebagai pertanda bahwa seorang anak yang telah melaksanakan tamat ngaji dianggap pandai membaca Al-Qur’an. Setelah tamat ngaji selesai, acara dilanjutkan dengan nganggung bersama di masjid tersebut. Pada malam harinya (malam minggu) diadakan hiburan kampung, yaitu penampilan musik Dambus dan Campak serta nyanyian lagu-lagu daerah yang diiringi dengan tarian oleh ibu-ibu dan gadis-gadis penduduk.
Hari berikutnya, dilaksanakan upacara Sunat Kapong. Dimulai pukul 04.00 WIB, peserta (anak-anak) yang akan disunat berendam di dalam air (dalam dialek masyarakat setempat ’di Aek Kapong’) kurang lebih selama 2 jam, kemudian kira-kira pukul 06.00-07.00 WIB pelaksanaan sunatan yang dilakukan oleh mudim (tukang sunat kampung). Setelah selesai, peserta sunatan diarak keliling kampung dengan menggunakan kereta hiasan dengan berbagai macam variasi. Dapat dilihat, bahwa di dalam proses pelaksanaannya banyak terdapat nilai-nilai ajaran Islam, khususnya khataman Al-Qur’an, semarang (selawatan barzanji) dan sunatan yang merupakan sunnah Rasulullah SAW yang harus tetap dipanuti dan dijalankan.
Pendidikan Islam diperoleh tidak mesti harus dengan jenjang pendidikan formal. Inilah yang dilakukan oleh masyarakat desa Kundi untuk memotivasi dan menarik minat masyarakat, khususnya anak-anak untuk belajar agama. Pelaksanaan Sedekah Kampung, selain sebagai pengungkapan rasa syukur atas anugerah dari Sang Pencipta, juga sebagai motivasi bagi generasi muda untuk mendalami ajaran agama Islam. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha untuk tetap menjaga dan melestarikannya.
D. Rumusan dan Batasan Masalah
Ruang lingkup dan batasan kegiatan penelitian ini menitikberatkan pada penelitian nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam Tradisi Sedekah Kampung di Desa Kundi Kecamatan Simpang Teritip. Atas dasar itulah penelitian ini merumuskan:
1.      Mengapa masyarakat Desa Kundi melakukan Sedekah Kampung?
2.      Bagaimana proses pelaksanaan Sedekah Kampung di Desa Kundi?
3.      Nilai-nilai pendidikan Islam apa saja yang terkandung dalam Sedekah Kampung?
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan:
1.      Menjelaskan tujuan dilaksanakannya Sedekah Kampung di Desa Kundi
2.      Menjelaskan proses pelaksanaan Sedekah Kampung di Desa Kundi
3.      Menjelaskan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam Sedekah Kampung
2. Kegunaan Penelitian:

a. Secara teoritis dapat menambah pengetahuan tentang salah satu bagian dari tradisi masyarakat Bangka Belitung yang masih bertahan hingga saat ini, juga sebagai usaha untuk memperkaya kepustakaan budaya.
b. Secara praktis diharapkan agar menjadi informasi yang penting bagi pemerintah mengenai tradisi masyarakat Bangka Belitung. Juga sebagai pengetahuan untuk meninjau kembali program pengembangan kebudayaan di Kabupaten Bangka Barat, khususnya di Kecamatan Simpang Teritip. Selain itu juga semoga dapat menjadi informasi bagi kajian-kajian yang sejenis dengan cara memahami bentuk-bentuk yang menyimpan makna bagi kehidupan orang banyak dan bermanfaat untuk memahami tradisi-tradisi lain yang sejenis yang ada pada masyarakat Bangka Belitung.

F. Telaah Pustaka
Berbagai hasil peneletian yang telah dilakukan sebelumnya, mengenai tradisi keagamaan yang di dalamnya memuat berbagai ritual, seperti penelitian yang dilakukan oleh Y. Sumandiyo Hadi di wilayah Parokial Ganjuran Kabupaten Bantul, tentang “Pembentukan Simbol Eksprensif Dalam Ritual Agama: Studi Tentang Inkulturasi Liturgi di Gereja Katolik Paroki Ganjuran, Bantul, Yogyakarta”, menyebutkan bahwa inkulturasi bentuk upacara tradisi keagamaan tersebut dipahami sebagai sesuatu yang berbeda atau variasi (deferensiasi). Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh kebudayaan Indonesia di masa lalu yang masih mewarnai sampai sekarang, yaitu karena adanya dualisme kebudayaan yang menunjukkan dua sub sistem dalam masyarakat nasional.[13]
Dari hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa pembentukan simbol dalam upacara liturgi sebagai proses inkulturasi Jawa yang mengandung unsur mitos, banyak dapat dilihat misalnya pemujaan dengan ngobong menyan atau membakar kemenyan dengan anglo, jenis toya suci kembang telon, simbol makna angka sembilan, angka tiga, simbol warna, ngalab berkah gunungan, dhahar kembul berupa kue apem, dan sebagainya, dipercaya mengandung magi kekuatan atau kebaikan.[14]
Sejalan dengan hal di atas, Harapandi Dahri juga melakukan penelitian serupa terhadap tradisi Tabot di Bengkulu. Dari penelitiannya, membuktikan bahwa di dalam tradisi tabot tersebut memiliki beberapa ritual, di antaranya; mengambik tanah (mengambil tanah), duduk penja (mencuci jari-jari), menjara (berkunjunga), meradai (mengumpulkan dana), arak penja (mengarak jari-jari), arak serban (mengarak surban), gam (tenang berkabung), arak gedang (taptu akbar), dan tabot tebuang (tabot terbuang).
Dari penelitiann tersebut terdapat tiga nilai-nilai yang terkandung dalam upacara pelaksanaan tabot, yaitu; nilai agama (sakral), sejarah, dan sosial. Nilai agama (sakral), pertama, dalam proses mengambik tanah mengingatkan manusia akan asal penciptaanya; kedua, pengunaan mantra-mantra dan ayat-ayat suci dalam prosesi mengambik tanah, esensinya adalah untuk menyadarkan kita bahwa keberagamaan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai budaya lokal; ketiga, pelaksanaan upacara tabot merupakan perayaan untuk menyambut tahun baru Islam.
Sementara, nilai sejarah yang terkandung dalam budaya tabot adalah sebagai manifestasi kecintaan dan untuk mengenang wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali yang terbunuh di Padang Karbala.
Adapun nilai sosial yang terkadung di dalamnya antara lain mengingatkan manusia akan praktik penghalalan segala cara untuk menuju puncak kekuasaan dan simbolisasi dari sebuah keprihatinan sosial.[15]
 Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Ermiwati di Dusun Pejem Gunung Pelawan Kecamatan Belinyu, Bangka tentang adat istiadat Suku Mapur di Dusun Pejem, dengan memfokuskan penelitian pada aspek dampak adat istiadat terhadap kehidupan keagamaan masyarakat Islam Suku Mapur. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dampak positif dari adat istiadat (ajaran leluhur) adalah sebagai penata masyarakat, salah satu di antaranya toleransi terhadap keyakinan orang lain yang masih kental diterapkan, terutama kepada agama Islam.[16]
Dari penelusuran kepustakaan ini, menunjukkan bahwa tradisi keagamaan yang dinamakan dengan ’Sedekah Kampung’ yang berkembang di lingkungan pedesaan, khusunya di Desa Kundi Kecamatan Simpang Teritip berbeda dengan di tempat lainnya. Walaupun maksud dari pelaksanaan tersebut sama, namun corak dan gayanya berbeda. Tidak menuntut kemungkinan adanya pengaruh atau perembesan budaya, dari budaya yang dipandang lebih tinggi, yang biasanya memancarkan sinarnya kepada budaya rakyat atau desa.
Sedekah Kampung tergolong sebagai upacara jenis ceremony karena Sedekah Kampung merupakan tingkah laku pengukuhan dari pernyataan kelompok terhadap situasi tertentu, sebagai pengungkapan rasa syukur atas anugerah yang telah diberikan oleh Sang Pencipta. Setelah penelaahan tersebut, penulis akan melakukan penelitian terhadap tradisi Sedekah Kampung di Desa Kundi Kecamatan Simpang Teritip, dengan memfokuskan pada aspek nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung di dalamnya.
G. Landasan Teori
Pernyataan Geertz, yang menjelaskan bahwa kebudayaan dapat dilihat pada peristiwa-peristiwa publik seperti ritual, festival atau perayaan tertentu, karena pada peristiwa-peristiwa tersebut orang mengekspresikan tema-tema kehidupan sosial melalui tindakan simbolik. Sebagai sistem-sistem yang saling terkait dari tanda-tanda yang dapat ditafsirkan (dengan mengabaikan pemakaian yang sempit, akan disebut simbol-simbol), kebudayaan bukanlah sebuah kekuatan untuk memberikan ciri kausal pada peristiwa-peristiwa sosial, perilaku-perilaku, pranata-pranata, atau proses-proses. Lanjutnya, kebudayaan merupakan sebuah konteks yang di dalamnya semua hal itu dapat dijelaskan dengan terang yakni secara mendalam.[17] Menurut Geertz, seorang antropolog dapat melakukan interpretasi terhadap kejadian-kejadian atau kelakuan masyarakat dengan memperlakukannya sebagai ‘teks’ (teks sosial), yakni sebagai model realitas dan model untuk realitas sehingga dapat mengungkapkan makna di balik pola sosial dimaksud.
Dalam tradisi, ‘teks’ tersebut berupaya menggambarkan kepada masyarakat bagaimana berkelakuan.[18] Eaton memberikan penjelasan, bahwa ”tradisi-tradisi agama yang ‘diturunkan’ atas manusia (meminjam frase yang sering digunakan Al-Qur’an) mengaku menawarkan sebuah paspor menuju surga. Jika hal ini benar; sesungguhnya ia merupakan kekayaan yang tak ternilai juga.”[19] Tradisi sebagai salah satu bagian dari kebudayaan sebagaimana telah dikemukakan oleh pakar hukum F. Geny adalah fenomena yang selalu merealisasikan kebutuhan masyarakat yang dikuatkan adat yang baku, yang tercermin dalam penghormatan tradisi yang baku dan perasaan individu dengan rasa takut ketika melanggar apa yang telah dilakukan pendahulu mereka.[20]
Konsep mengenai nilai-nilai agama sebagaimana digambarkan kaum orientalis Eropa tentang kehebatan Islam yang dengan nilai-nilai Samawi-nya mampu menggerakkan umat menjadi dinamis, maju lahir dan batin. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), nilai samawi harus mampu berfungsi secara aktual sebagai filter, selektor, dan pengontrolan terhadap akibat negatif nilai-nilai yang ditimbulkan oleh kemajuan iptek tersebut.[21] Dengan demikian pendidikan Islam dapat memberikan kemampuan untuk pencernaan terhadap perkembangan tersebut.
Pendidikan, jika dipersepsikan sebagai alat enkulturasi umat manusia, maka segala bentuk atau unsur pengaruh dari perubahan sosial juga melanda dunia pendidikan, karena pendidikan sangat erat hubungannya dengan kondisi masyarakat yang harus dibudayakan.[22] Dalam tradisi Sedekah Kampung yang kental dengan nuansa keagamaan, memiliki nilai-nilai ajaran Islam yang dibungkus dalam ritual keagamaan, memainkan peranan penting bagi kelangsungan pendidikan Islam secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itulah pendidikan, khususnya pendidikan Islam diperoleh tidak hanya melalui institusi pendidikan saja, melainkan juga bisa melalui berbagai hal.
Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji nilai-nilai pendidikan Islam dalam tradisi Sedekah Kampung ini menggunakan pendekatan ’antropologi budaya’ (sering disebut dengan antropologi atau antropologi sosial budaya) yang berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk sosial atau manusia sebagai makhluk yang hidup dalam kelompok atau masyarakat.[23] Seperti pernyataan yang dikembangkan oleh Ralp Linton bahwa kebudayaan mencakup seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan, yang meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap dan juga hasil dari kegiatan yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
H. Metodologi penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.[24]
2. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah masyarakat Desa Kundi Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat terutama sebagai narasumber, yaitu tetua adat (sebagai narasumber utama), tokoh agama, dan penghulu. Sedangkan kepala desa, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat hanya dijadikan sebagai informan.
3. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Dari sumber data yang telah dihimpun di lapangan, maka jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data yang merupakan bentuk luar dari ciri-ciri yang teramati yang membantu dalam memahami interpretasi yang diberikan informan. Data yang merupakan interpretasi yang dikemukakan oleh informan, yaitu data yang dihimpun, yang berhubungan dengan ritual tradisi Sedekah kampung, kehidupan beragama, nilai-nilai pendidikan Islam dan aktivitas kebiasaan masyarakat Desa Kundi.
b. Sumber Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini diambil dari:
1) Data primer adalah data yang didapatkan melalui narasumber, yaitu tetua adat, tokoh agama, dan penghulu, serta melalui informan (kepala desa, tokoh pemuda, dan tokoh masyarakat). Selain itu, data tersebut diperoleh melalui pengamatan lapangan (pada waktu pelaksanaan tradisi Sedekah Kampung).
2) Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber-sumber yang mendukung seperti dokumentasi, arsip desa, balai adat, catatan pribadi, dan referensi yang berkaitan dengan penelitian.

4. Metode Pengumpulan Data
a. Wawancara mendalam dan langsung (indepth interview) kepada narasumber dan informan. Metode ini digunakan untuk mendapatkan data berupa sejarah dilaksanakannya Sedekah Kampung, upaya masyarakat mempertahankan tradisi, unsur-unsur ritual yang terkandung, nilai-nilai pendidikan Islam dan tujuan dilaksanaannya.
b. Observasi langsung terlibat (participant observation), teknik/metode ini digunakan untuk mendapatkan fakta-fakta empirik yang tampak (kasat mata) dan guna memperoleh dimensi-dimensi baru untuk pemahaman konteks maupun fenomena yang diteliti, yang digunakan untuk mendapatkan data mengenai kehidupan beragama dan aktivitas kebiasaan masyarakat Desa Kundi.[25]
c. Dokumentasi, metode ini merupakan pengumpulan data yang mendukung kegiatan penelitian, seperti data asal usul Desa Kundi, letak wilayah, kondisi geografis, kependudukan, sosial budaya, fasilitas sosial, struktur pemerintahan desa, dan kehidupan beragama, lebih singkatnya potret masyarakat Desa Kundi.

5. Teknik Analisis Data
Setelah semua data terkumpul dan dihimpun, selanjutnya di lakukan analisis data. Dalam penelitian kualitatif, data yang terkumpul di analisis setiap waktu secara induktif, selama penelitian berlangsung dengan mengolah bahan empirik (synthesizing), supaya dapat disederhanakan ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca, dipahami, dan diinterpretasikan. Analisis data dalam penelitian ini, menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan menghubungkan dan menafsirkan hasil data kemudian memberi kesimpulan induktif berdasarkan/berkenaan dengan kualitas atau mutu.[26] Analisis ini juga disebut dengan analisis data kualitatif, yaitu data yang berhubungan dengan katagorisasi, karakteristik atau sifat sesuatu.[27]
I. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran lebih jelas mengenai nilai-nilai pendidikan Islam dalam Tradisi Sedekah Kampung, maka sistematika pembahasan ini disajikan dalam beberapa bab yang tersusun saling berhubungan secara sistematis dan organis sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini berisikan tentang penegasan istilah, alasan pemilihan judul, latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Nilai-Nilai Pendidikan Islam, bab ini menguraikan tentang kerangka teoritis mengenai pengertian pendidikan Islam dan nilai-nilai pendidikan Islam.
Bab III Potret Masyarakat Peradong, setelah menguraikan kerangka teoritis pembahasan, dilanjutkan dengan gambaran kondisi objektif lokasi penelitian yang berisikan tentang asal mula Desa Kundi, letak wilayah, kondisi geografis, kependudukan, sosial budaya, fasilitas sosial, pemerintahan desa, dan kehidupan beragama.
Bab IV Sedekah Kampung Dalam Masyarakat Kundi, dalam bab ini menjelaskan tentang prosesi pelaksanaan tradisi sedekah kampung di Desa Kundi dan sedekah kampung dalam kehidupan beragama masyarakat Desa Kundi.
Bab V Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Sedekah Kampung di Desa Kundi, bab ini merupakan inti dari penelitian yang menguraikan tentang nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam Tradisi Sedekah Kampung di Desa Kundi.
Bab VI Kesimpulan dan Saran, bab ini merupakan simpulan dari seluruh isi penelitian dan saran yang disampaikan berkaitan dengan hasil laporan penelitian.



[1] Bustanidun Agus, Islam dan Pembangunan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 15.
[2] Atang Abdullah Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm 28.
[3] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka CipTa, 1990).hlm. 190.
[4] Samir Aliyah, Sistem Pemerintah, Peradilan & Adat Dalam Islam, Penerjemah: H. Asmuni, (Jakarta: Khalifa, 2004), hlm.512.
[5]  I Nyoman Beratha, Desa, Masyarakat dan Pembangunan Desa, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 22.
[6] Harapendi Dahri, Tabot: Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu, (Jakarta: Penerbit Cinta, 2009), hlm. 45.
[7] Irwan Abdullah, dkk, (ed.), Agama dan Kearifat Lokal dalam Tantangan Global, (Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana UGM, 2008), hlm. 187.
[8] Yaitu antara akhir bulan Rhamadan hingga di awal bulan syawal (antara tanggal 15 sampai 30).
[9] http://www.antaranews.com, 02/09/07 22:05 Pesta adat perang ketupat di Desa Tempilang Kabupaten Bangka Barat di minati warga, copyright 2008 antara, diakses tanggal 02 maret 2012.
[10] Istana adalah sebutan masyarakat terhadap makam keturunan tetua adat yang dijadikan sebagai tempat ritual pemohon izin untuk melaksanakan Sedekah Kampung.
[11]  Bertamat adalah membaca surat-surat pendek dari AlQuran secara bergantian. Lihat Zulkifli. Op.cit., hlm 54. Biasanya pembacaan surat-surat pendek tersebut dimulai dari surat ad-dhuha sampai an-nas
[12] Semarang (salawatan bersanji) meruakan bacaan shalawat yang diambil dari kitab al-Bersanji yang dibacakan ketika mengiringi setiap arak-arakan yang dilakukan, baikuntuk arak-arakan tamat maupun sunat kapong
[13] Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama, (Yogyakarta: Buku Pustaka, 2006), hlm. 60-61.
[14] Ibid., hlm. 253
[15] Harapandi Dahri, op. Cit., hlm. 94-95.
[16] Erniwati, “Dampak Adat Istiadat Terhadap Kehidupan Keagamaan Masyarakt Islam Suku Mapur Dusun Pejem Desa Gunung Pelawan Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka”, Skripsi, Fakultas Dakwah STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Saungailiat, 2007, hlm. 61.
[17] Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, (Yogyakarta: Kasinus, 2004), penerjemah: Fransisco Budiman, hlm. 17.
[18] Zulkifli, Antropologi Sosial Budaya, (Bangka: Shiddik Press, bekerjasama dengan Penerbit Graha Guru Yogyakarta, 2008), hlm. 87.
[19] Charles Le Gai Eaton, Zikir: Nafas Peradaban Modern, penerjemah: Zainul Am, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), hlm. 162.
[20] Samir Aliyah, Sistem ... hlm. 512.
[21] Muzayyin Arifin, Kapita seleta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003), hlm. 62
[22] Ibid., hlm. 65.
[23] Zulkifli, op cit., hlm. 27.
[24] Nana Syaodih Sukmadinata, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2006). Hlm. 60
[25] Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis dan Disertai, (Jakarta: Yayasan Kelopak, 2004), hlm. 50.
[26] Y. Sumandiyo, Seni..., hlm. 78.
[27] Noeng Muhadir, Metodologi..., hlm. 16.