MAKALAH METODOLOGI STUDY ISLAM
TENTANG
MODEL PENELITIAN HADIS
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah
DOSEN PENGAMPU: Tinggal Purwanto M.S.I
OLEH:
NAMA : AHMAD ROZALI
NIM : 1211004
JURUSAN/PRODI : TARBIYAH/PAI
SEMESTER : 1 (SATU)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI[STAIN]
SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK
BANGKA BELITUNG
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
Puji syukur Alhamdulillah senantiasa aku panjatkan sebagai manifestasi syukur
dan terima kasih kepada dzat yang maha pengasih dan maha penyayang. Karena
berkat kasih sayangnya aku dapat menulis makalah yang diberikan oleh dosen
sebagai pelatihan dalam dunia jurnalistik dan berkarya ilmiyah.
Sholawat dan Salam tak henti-henti aku persembahkan kepada Nabi tercinta yang
telah berkorban jiwa dan raga demi terbentuknya masyarakat madani (civil
society) yang hidup dalam ketentraman dan berdampingan tanpa ada perbedaan
apalagi permusuhan. Dialah makhluk yang paling sempurna yang diutus
kepada seluruh alam sebagai akhir dari para utusan-utusan yang terdahulu.
Kami merupakn pemula dalam membuat tentamen-tentamen di awal bangku kuliyah,
yang jelas dan tentu banyak kekurangan dan kekeliruan dalam pembuatan tentamen
yang berupa makalah ini. Oleh karena itu bimbingan dan arahan selalu aku
harapkan kepada semua dosen khususnya Bapak Tinggal Purwanto M.Si sebagai dosen dari mata kuliyah MSI
(Methodology Study Islam). Sehingga dengan bimbingan dan arahan tersebut
diharapkan kami dapat menghasilkan makalah yang dapat dikatakan sebagai
makalah ilmiyah yang berpijakan pada dasar- dasar ilmiyah yang dapat diuji
kebenarannya baik secara ilmiyah atau secara realitas.
Dan aku ucapkan banyak terima kasih kepada semua dekan mahasiswa yang telah
banyak memberikan sumbangsih wawasan dalam penyusunan makalah ini,
sehingga kami dapat mengumpulkan data-data tentang model-model penelitian
hadits, baik penelitian kontemporer atau klasik. Juga yang yang tak kalah
penting kami ucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberikan bimbingan
dan arahannya sehingga terbentuklah makalah sederhana yang masih jauh untuk
dikatakan sempurna. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi perkembangan penelitiah
hadits dan eksistensi kesohehan hadits itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
Pada garis besarnya pengertian hadits dapat ditinjau dari dua aspek pendekatan,
yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik) dan pendekatan secara istilah
(terminology).
Dilihat dari pendekatan linguistic, hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari
kata hadatsa, yahdudutsu, hadtsan, haditzan dengan pengertian yang
bermacam-macam. Kata tersebut berarti sesuatu yang baru. Selanjutnya, kata
hadatsa dapat pula berarti yang dekat atau waktu yang dekat. Kemudian kata
hadits juga berarti al-khabar yaitu sesuatu yang berarti sesuatu yang
diperbincangkan.
Sedangkan hadits ditinjau dari segi Istilah dijumpai pendapat yang berbeda-beda.
Para Ulama’ ahli hadits misalnya berpendapat bahwa hadits adalah ucapan,
perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad SAW. Sementara Al-Thiby berpendapat bahwa
hadits bukan hanya perkataan, pebuatan dan ketetapan Rasulullah SAW., akan
tetapi termasuk perkataan, perbuatan dan ketetapan para Sahabat dan Tabi’in.
Dalam pada itu Ulama’ ahli ushul fiqh berpendapat bahwa hadits adalah
prkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW. yang berkaitan dengan hukum.
Sementara ahli fiqh mengidentifikasikan hadits sebagai sunnah, yatu
sesuatu yang yang taklifi. Suatu perbuatan yang apabila dikerjakan
akan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa[1].
Menentukan Status
Hadits
Langkah awal para ulama dalam menetapkan ke-shahihan dan
kelemahan suatu hadits , adalah menentukan prinsip-prinsip dasar suatu hadits
sebagai cara untuk melakukan elaborasi terhadap keberadaan. Langkah ini
memungkinkan terjadinya perbedaan nuansa antara ulama yang satu dengan yang
lain. Dan dalam beberapa hal, nuansa perbedaan tersebut juga terimbas dalam
menetapkan status suatu hadits. Untuk menghindari kekeliruan mengatasnamakan
nabi, ulama memilah kepada yang dapat dijadikan hujjah (shahih dan hasan) dan yang
tidak dapat dijadikan hujjah (dla’if).
1.
Prinsip Ijtihad
Prinsip ijtihad
sebenarnya bukan monopoli karena ulama sebelum dan sesudahnya juga telah
menggunakan istilah ijtihad dalam menentukan shahih tidaknya suatu hadits.
Dalam melakukan ijtihad-nya, ulama hadits menggunakan dua pendekatan;
pendekatan sanad dan matan. Sanad merupakan mata rantai (transmisi) hadits yang terdiri dari orang-orang yang meriwayatkan
hadits sampai Nabi. Sedangkan matan hadits adalah redaksi hadits itu sendiri
yang berupa sabda, perbuatan, dan pengakuannya.
2.
Prinsip Status Sanad
Hadits yang dihimpun
ulama baru ditulis secara intensif sejak diedarkan surat perintah ‘Umar Bin
‘Abd Al-‘Aziz kepada para gubernur khususnya di Madinah. Tradisi ini berjalan
sampai para pencatat hadits abad ke-5 H. sejak zaman Rasul hingga para rawi itu, diperlukan transmisi yang
meyakinkan bahwa hadits itu musnad,
muttashil, dan marfu’ kepada
Nabi. Kedudukan sanad sangat penting dalam memelihara ke-shahih-an hadits, sehingga muncul postulat-postulat yang berkaitan
dengannya. Postulat tersebut didasari oleh keyakinan bahwa mengatasnamakan
Rasulullah SAW harus ekstra hati-hati.[2]
Postulat yang dibangun ulama yang
berkaitan dengan sanad, antara lain
sebagai berikut:
a. Sanad adalah Ajaran Agama
Rasulullah SAW
sendiri sudah memperingatkannya sejak dini bahwa mengatasnamakannya tanpa dasar
merupakan dosa dan pelakunya akan masuk neraka. Para sahabat pun sangat
hati-hati dalam menisbahkan sesuatu kepada Nabi. Para sahabat pula yang pertama
kali menuntut harus ada saksi (syahid),
keterangan (bayan) dan sumpah jika
seseorang berani menisbahkan sesuatu kepada Nabi.
b. Sanad adalah Perantara
Suatu riwayat atau
berita antara suatu generasi dengan generasi lainnya adalah sanad.
c. Sanad adalah Pangkal Kebenaran
Sangat berbahaya jika
mencari ilmu tidak diketahui dengan jelas sumbernya. Kutiap-kutipan ilmiah baru
akan dipercaya jika bersumber dari orang-orang yang layak, sesuai dengan
profesinya dan memiliki kemampuan lebih dari yang lainnya, baik pribadinya
maupun ilmiahnya.
d. Sanad adalah Standar Ilmiah
Untuk memperoleh
sanad yang shahih ulama hadits menyusun berbagai macam kaidah yang menurut
anggapannya dapat menentukan status suatu hadits. Dalam menentukan
kaidah-kaidah ini, ulama menentukan kaidah-kaidah yang berkaitan bersambung dan
tidaknya suatu sanad, seperti, musnad,
marfu’, mursal dan sebagainya. Jumlah kaidak-kaidah tersebut antara ulama
yang satu dengan ulama yang lainnya berbeda-beda[3].
3.
Prinsip Status Matan
Ke-shahih-an hadits
tidak hanya berpegang teguh pada riwayat, tetapi juga pada matan (redaksi) hadits itu karena sebagai
manusia bisa tidak lepas dari kesalahan. Untuk mengetahui shahih tidaknya matan
hadits, maka bukan hanya hadits itu dikomparasikan dengan hadits lainnya,
tetapi juga matan hadits tersebut perlu dikomparasikan dengan Al-Qur’an. Bila
tampak matan (redaksi) hadits ada
pertentangan, maka status hadits tersebut bisa dianggap dla’if, sehingga tidak bias dijadikan hujjah. Hasil komparasi
tersebut bisa merupakan hadits mansukh
(dihapus) oleh Al-Qur’an atau dihapus
oleh hadits lainnya. Salah satu contoh hadits yang dihapus oleh Al-Qur’an ialah
riwayat yang diterangkan oleh imam al-bukhari tentang shalat yang dilakukan
Rasulullah menghadap ke Bayt Al-Maqdis.
4.
Kaidah Sanad dan Matan Hadits
Hadits yang dihimpun
oleh ulama memiliki keanekaragaman dan keberadaan sanad serta matan yang
berbeda-beda. Dalam keaneka ragaman sanad, seringkali para penghimpun
menggunakan sanad yang dekat (ali) dan
seringkali menggunakan sanad yang jauh (nazil).
Juga seringkali terjadi hadits yang sanad, hadits ditemuinya bersambung kepada
nabi dan juga adakalanya hanya sampai tingkat sahabat, tabi’in, atau sampai ke atba’
tabi’in. matannya, adakalanya lurus (tidak ada matan lain yang berlawanan
dengan matan tersebut) dan seringkali mulus lafal-lafalnya (tidak ada perubahan
lafal-lafalnya)[4].
a. Jauh dan dekatnya sanad
Landasan metodologis
yang digunakan Al-Hakim Rasulullah SAW pernah didatangi seseorang yang
menanyakan tentang iman, kerasulan, shalat, sadaqah, puasa, dan haji, padahal
ia sendiri sudah mendengar dari orang lain yang menyampaikan kepadanya.
b. Bersambung
tidaknya sanad
Perkataan,
perbuatan, dan pengakuan yang dinisbatkan kepada Rasulullah, seringkali
bersambung langsung kepada nabi dan seringkali tidak bersambung langsung. Ulama
hadits menelaah bersambung dan terputusnya transmisi ini sampai kepada yang
sekecil-kecilnya. Jika sanad itu bersambung, ulama juga melakukan penelitian
kepada siapa saja orang-orang yang tercantum pada sanad tersebut. Dan jika
sanad itu terputus, harus ditunjukkan dimana letak terputusnya, pada tingkat sahabat, tabi’in, atau atba’ tabi’in. istilah
teknis yang berkaitan dengan terputus tidaknya suatu sanad hadits adalah musnad, mawquf, mursal, munqathi’, dan mu’dlal.
·
Hadits Musnad
Hadits
musnad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh ahli hadits yang menerimanya dari syaykh atau guru hadits yang jika
dilihat secara sepintas, antara guru-guru hadits di setiap generasi itu, satu
sama lain pernah berguru dan mendengarnya karena dimungkinkan oleh hidupnya
yang semasa. Kemudian proses selanjutnya, riwayat yang dibawakannya bersambung
kepada sahabat yang masyhur, kemudia,
ia menyandarkannya kepada Nabi. Hadits musnad itu “shahih”, dan dapat dijadikan
hujjah. Untuk membuktikan suatu hadits musnad
atau tidak musnad sangat bergantung
kepada telaah rawi hadits itu sendiri.
·
Hadits Mawquf
a.
Perbuatan Sahabat Rasul
Menurut al-Hakim,
orang yang tidak mengetahui hadits akan menduga bahwa hadits itu musnad karena
menyebut sahabat rasulullah, padahal hanya perbuatan sahabat belaka ketika
mereka bertamu. Jadi, tidak selamanya perkataan yang menyebut nama rasul
merupakan hadits musnad. Demikian
juga termasuk mawquf jika dikatakan,
“ia (sahabat) mengatakan ini dan itu, melainkan ini dan itu, menyuruh ini dan
itu”.
b.
Penafsiran Sahabat.
Penafsiran sahabat termasuk kategori hadits mawquf. Jadi
dalam term al-Hakim ada hadits yang dilihat dari sisi luarnya dan dilihat juga
sisi hakikatnya. Dilihat dari luarnya hadits itu mawquf, tetapi hakikatnya
mursal karena tidak adanya bukti bahwa tabi’in yang meriwayatkan perkataan itu
menerima dari sahabat Nabi. Term ini tidak dibahas secara rinci oleh ulama
lainnya. Dalam aspek ini al-Hakim lebih rinci dan lebih rinci dan lebih jeli
dari ulam lainnya.
Hadits
Dilihat dari Aspek Kuantitas Ra’wi’
1.
Mutawatir
Al-hakim tidak mendefinisikan hadits mutawathir secara
eksplisit; hanya menunjuk hadits tertentu yang dianggapnya mutawathir, seperti
diisyaratkan tentang larangan mendustakan Nabi. Konsep mutawathir ini
baru secara definitive dikemukakan Al-Baghdadi, meskipun Al-Syafi’i, ulama
sebelumnya sudah mengisyaratkan dengan istilah “khabar ‘ammah”. Menurut Al-Baghdadi, hadits mutawathir adalah
“suatu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu
yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya. Ibnu shalah
mendefinisikan “mutawatir ialah suatu
ungkapan tentang berita yang diriwayatkan oleh orang yang memperoleh
pengetahuan, yang kebenarannya dipastikan dan sanadnya konsisten memenuhi
persyaratan tersebut dari awal sanad sampai akhirnya`q[5].
2.
Hadits Masyhur
Al-hakim membagi masyhur menjadi dua bagian, yaitu yang
shahih dan yang tidak shahih. Hadits masyhur yang shahih ini ada yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dan ada pula yang tidak. Hadits masyhur
itu pun ada yang hanya diketahui oleh para ahli hadits dan ada yang diketahui
orang banyak. Seperti contoh hadits masyhur yang tidak diriwayatkan dalam kitab shahih:
“Mencari ilmu itu
wajib atas setiap muslim”
3.
Hadits Gharib
Al-hakim membagi hadits ghorib menjadi tiga bagian, yaitu gharib shahih, gharib al-syuyukh, dan gharib al-mutun. Antara istilah gharib dan istilah tafarrud ada kalanya al-hakim masih ada perdebatan karena ketika
ia menerangkan gharib disebut pula kata
tafarrud (menyendiri). Ini artinya hadits gharib oleh al-hakim ialah hadits
yang diriwayatkannya secara menyendiri. Perbedaannya terletak pada siapa yang
meriwayatkan secara sendiri itu. Jika seorang yang menyendiri itu syaykh
(guru-guru hadits) gharib al-syuyukh;
jika terletak pada perbedaan lafal hadits dari seseorang disebut ghara ‘ib al-mutun. Di antara hadits gharib syuyukh ialah hadits yang
menerangkan “larangan Nabi terhadap pedagang di kota langsung menjual barang ke
desa. Hadits gharib matan, menurut Al-Hakim, sanadnya juga bisa saja gharib.
Contohnya hadits yang menerangkan tentang kekuasaan yang akan di pegang “Ali
bin Abi Thalib.
4.
Hadits Afrad atau Fard
Al-Hakim memberikan nuansa tertentu terhadap hadits gharib dan fard, walaupun kedua-duanya sama-sama mengenai riwayat yang
menyendiri. Hadits gharib ini lebih ditekankan kepada sekelompok orang yang
berada di kota tertentu yang menerima hadits itu dari seorang sahabat, lalu
diterima pula dari seorang ulama terkenal dan hadits yang diterima dari
penduduk kota lainnya. Misalnya. Hadits diriwayatkan oleh penduduk kufah,
madinah, hadits diterima dari ulama terkenal seperti Ibn ‘Uyaynah dari
al-Zuhri.
5.
Hadits diterima melalui jalur keluarga
Hadits tersebut diriwayatkan oleh sekelompok rawi yang
menerima dari para Imam Hadits. Para imam ini juga menerima dari ayah-ayah
mereka dan ayah-ayah mereka menerima pula dari kakek-kakeknya. Menurut
al-hakim, mereka adalah para sahabat Nabi dan cucu-cucunya orang yang
terpercaya; hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mereka itu tercantum dalam
kitab-kitab hadits selain shahih. Al-Hakim menyatakan bahwa hadits itu
disepakati bersama, maksudnya ialah bahwa orang-orang yang meriwayatkan hadits
itu disepakati oleh syaykh dan haditsnya layak diterima[6].
Hadits Dilihat dari Aspek Kualitas Ra’wi
Dalam menentukan status hadits al-hakim seringkali menyebut shahih dan saqim dan seringkali mengatakan
shahih dan majruh. Perkataan
majruh disini ialah hadits yang rawi-nya tercela yang tentu akan berimplikasi
terhadap ditolaknya hadits yang diriwayatkannya. Hadits yang perawinya majruh ini dalam istilah lain ialah
hadits dla’if karena terjadi hadits
dla’if antara lain diriwayatkan oleh orang-orang yang majruh.
Hadits Shahih
menurut al-Hakim
Hadits shahih itu
adalah hadits yang memiliki lima persyaratan, yaitu musnad (bersambung sanadnya), rawi-nya
adil, dlabith, tidak syadzdz, dan tidak ber-‘illah.
Ø
Hadits yang disepakati ke- shahih-annya
Ada enam macam hadits yang
disepakati ke-shahih-annya
a.
Hadits shahih menurut kriteria al-Bukhari
dan Muslim
b.
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
c.
Hadits dari kelompok Tabi’in
d.
Hadits fard dan gharib
e.
Hadits fard dan gharib yang
disepakati ke-shahihannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang
tsiqah dan ‘adil.
f.
Hadits diterima melalui jalur keluarga
Ø Hadits
yang diperselisihkan ke-shahih-annya
1. Hadits-hadits
Mursal
Hadits Mursal
ialah ucapan tabi’in atau atba tabi’in yang langsung dinisbahkan kepada
Rasulullah SAW, padahal jarak antara Rasul SAW dengan mereka mencapai satu abad
lamanya, dan tidak ada rawi-rawi yang menjadi perantara. Adapun alasan mereka
menolak hadits mursal ialah dalam al-Qur’an dengan jelas Allah menerangkan
“Perlu adanya sekelompok orang yang mencari ilmu secara langsung untuk kemudian
diajarkan lagi kepada kaumnya ketika pulang. Dalam menerima hadits mursal
bergantung kepada siapa orang yang me-mursal-kan itu. Jika orangnya jujur dan terpercaya
bisa saja hadits itu dipercaya.
2. Riwayat
orang-orang Mudallis
Riwayat orang-orang mudallis
dapat dijadikan hujjah oleh
sekelompok ulama Kufah jika tidak ada riwayat yang sah yang mereka dengar dari
orang lain. Namun, Ulama Madinah menolaknya. Yang dimaksud dengan mudallis ialah Ibnu ‘Uyaynah.
3. Riwayat orang yang
Tsiqah
Hadits yang termasuk diperselisihkan oleh ulama adalah yang
diriwayatka oleh orang-orang terpercaya yang diterima dari orang yang
terpercaya pula. Prosesnya adalah hadits diterima dari orang tsiqah, diterima dari seorang Imam yang
diberi sanad olehnya. Kemudian, diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tsiqah
pula, tetapi dengan cara mursal. Hadits yang seperti ini banyak yang dianggap shahih menurut madzhab fuqaha’, tetapi ulama hadits tidak
menerimanya. Tidak selamanya hadits itu di perselisihkan oleh ahli hadits,
tetapi bisa saja suatu hadits disepakati oleh ahli hadits dan ditolak oleh ahli
fiqh atau sebaliknya.
4. Riwayat Ahli
Bi’dah
Hadits yang diterima dari ahli bi’dah diperselisihkan oleh
ulama antara diterima dan tidak diterima. Menurut kebanyakan ahli hadits
riwayat mereka boleh diterima dengan syarat orangnya jujur, sebagaimana
dilakukan juga oleh al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaymah, dan lain-lain.
Imam Maliki sendiri mengatakan, “Ilmu itu (Hadits) tidak
boleh diambil dari empat golongan, yaitu dari orang safih, pendusta, pengikut aliran hawa nafsu (ahli bi’dah) yang membawa kepada alirannya, dan orang saleh atau
tukang ibadah yang tidak mengetahui hadits.
·
Larangan Menulis Hadits Pada Masa Nabi
Di masa Rasulullah SAW masih hidup, hadits belum dibukukan,
dalam arti umum, seperti Al-Qur’an. Hal ini disebabkan dua faktor berikut:
1. Para sahabat
berpegang pada kekuatan hafalan dan kecerdasan akal mereka, di samping tidak
lengkapnya alat-alat tulis yang mereka miliki.
2. Adanya larangan
menulis hadits. Muslim dalam sahihnya, meriwayatkan dari sa’id al-khudri, bahwa
nabi Muhammad saw berkata:
“Janganlah kamu menulis sesuatu (yang kamu terima) dariku
selain Qur’an. Barang siapa yang telah menulis sesuatu selain Qur’an, hendaklah
dihapus”.
Bolehjadi, larangan penulisan hadits itu karena
dikhawatirkan akan tercampurnya hadits dengan Qur’an, atau penulisan hadits itu
akan melalaikan mereka dari Qur’an, atau larangan itu ditujukan kepada
orang-orang yang dipercayai kekuatan hafalannya. Tetapi bagi mereka yang tidak
lagi dikhawatirkan bahwa hadits dengan Qur’an akan tercampur aduk, seperti
mereka yang pandai baca tulis, atau karena mereka khawatir akan lupa, maka
penulisan hadits diperbolehkan. Dan dalam pengertian inilah menurut beberapa
riwayat penulisan hadits bagi sementara sahabat diizinkan.
·
Penulisan Hadits Setelah Nabi Wafat
Tidak berselang lama setelah Rasulullah
SAW wafat, para penulis hadits, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in,
banyak bermunculan. Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, bahwa ia senantiasa
menyertai Ibn Abbas r.a. untuk mendengarkan hadits darinya. Hadits-hadits yang
didengarnya itu dicatat ketika ia dalam perjalanan, kemudian disalin sesampai
dirumah.
·
Pembukuan Hadits Secara Umum
Pada abad pertama perkembangan hadits ialah bahwa sebagian
perawi mencatat hadits-hadits, sedang yang lain tidak mencatatnya. Dalam
meriwayatkannya, mereka hanya berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya.
Keadaan demikian terus berlangsung hingga masa pemerintahaan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz r.a. Ia tergerak hatinya dan merasa perlu membukukan hadits dan
sunnah. Hal ini disebabkan ia merasa khawatir akan hilang dan lenyapnya
hadits-hadits bersama para penghafalnya yang kian hari kian banyak yang
meninggal, atau karena ia khawatir tercampur baurnya hadits-hadits asli dengan
yang batil. Di samping itu, mulai bermunculanlah kelompok ateis yang mempunyai tujuan akan menghancurkan agama dengan cara membuat-buat
ajaran palsu dan memasukkan ke dalamnya sesuatu yang sebenarnya bukan ajaran
agama. Sebagaimana dimasa itu telah muncul pula pertentangan-pertentangan
politik, mazhab dan golongan bangsa yang menyebabkan meluasnya hadits-hadits
palsu yang mendukung kepentingan masing-masing.
B. Methodology Penelitian Hadits
Ada banyak cara yang dilakuakn para ulama’ dalam meneliti hadits yaitu
diantaranya meneliti kehidupan seorang perawi, baik berupa keadaan khusus atau
keadaan yang bersifat umum, segi kecermatan, segi daya hafal, yakni dengan
meneliti bagaimana si perawi memperoleh hadits dari gurunya. Atau dengan
menilai hadits tersebut dari berbagai cara yang akan kami rangkum sebagai
berikut;
1. Tahammul (bagaimana seorang perawi membawa
hadits)
Salah satu cara yang dilakukan oleh seseorang dalam menentukan status hadits
adalah meneliti bagaimana perawi menerima hadits, dalam masalah dapat
dikelompokkkan sebagai berikut;
- sima’, yaitu seorang guru mengimlakkan hadits kepada muridnya
- munawalah, (menyerahkan dengan disertai ijazah), yakni seorang guru mmberikan catatan asli atau salinan kepada muridnya seraya berkata “saya ijazahkan kepadamu dan kamu boleh meriwayakan”
- ijazah tanpa munawalah, yakni seorang guru membolehkan muridnya untuk meriwayatkan hadits dari gurunya
- munawalah tanpa ijazah, yakni seorang guru menyerahkan kitab pada muridnya seraya berkata, “ ini hadits yang saya dengar” tanpa menyuruh meriwayatkan.
- I’lam, yakni seorang guru berkata kepada muridnya, “ kitab ini yang saya dengar” tanpa memberikan izin untuk meriwayatkannya.
- Wasiat, yakni seorang guru ketika bepergian atau menjelang meninggal berwasiat dengan sebuah kitab kepada seorang muridnya.
- Wijadah, yakni muhaddits menemukan hadits atau kitab yang ditulis ulama’ lain yang dikenal kedhobitannya. Kemudian dia berkata saya temukan tulisan seseorang begini.
2. Mencari sanad-sanad terbaik
Sebagian ahli hadits menamakan sanad-sanad terbaik dalam segi masuk
Islamnya, segi kecermatan analisisnya dan dalam segi kemampuannya dan tidak
membatasi pada sahabat atau Negeri. Sebagian ahli hadits menyebutkan sanad-sanad
terbaik sebagai berikut:
- Sanad terbaik dari Abubakar ialah Isma’il bin Abi Khalid dari bin Abi Hazin dari Abu Bakar.
- Sanad terbaik dari Ali bin Abi Thalib diantaranya Muhammad bin Sirin dari Ubaidah Al-Salmani dari Ali
- Sanad terbaik dari ‘Aisyah diantaranya Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah.
- Sanad terbaik dari Sa’ad bin Abi Waqash ialah Ali Bin Al-Husain bin Ali dari Sa’id bin Al-Musayyab dari Sa’ad bin Abi Waqash.
Dan masih banyak lagi sanad-sanad terbaik yang perlu
dianalisis secara mendalam yang dapat mengetahui kedudukan dari hadits-hadits
tersebut.
3. Jarh Watta’dil
Analisis Jarh Watta’dil merupakan penelitian tentang kecekatan (kedhabitan)
seorang perawi. Dalam permasalahn ini, kami akan memberikan gambaran sejelas-jelasnya
kepada pembaca sekalian tentang apa yang dimaksud dengan Jarah watta’dil itu.?
- Jarh ( sifat tidak terpuji)
Yang dimaksud Al-Jarh adalah
memeriksa keadaan perawi yang dinilai lemah kedabitannya dan megeritiknya
sebelum Sunnah dibukukan sampai dengan tahun 300 H. jelas bahwa pemeriksaan
terhadap keadaan perawi hadits itu dilakukan sebelum Sunnah dibukukan.
Pembukuan ini diawali dengan pengeritikan perawi, pembuatan standar (tolok
ukur) ke-dhabitan yang kemudian dihimpun dalam sebuah kitab, Karena itu,
kita tidak dapat melakukan pengeritikan terhadap perawi-perawi terdahulu. Dan
kita hanya memberi penilaian terhadap hasil karya Jarh Watta’dil yang terdapat
didalam kitab-kitab mereka.
- At-ta’dil (sifat terpuji)
Yang dimaksud dengan ta’dil adalah
menilai tingginya kedhabitan (kecekatan hafalan) seorang perawi. Dalam ta’dil
ini ada tingkatan-tingkatan kedhabitan perawi. Diantaranya seorang perawi punya
tingkat tertinggi seperti punya sebutan, “Autsaqunnas” atau
“atsbatuhum” yang berarti orang yang paling cermat. Selain tingkatan
cekatan tertinggi masih ada tingkatan-tingkatan yang tidak mengurangi nilai
kedhabiatn seorang perawi. Hal ini dijabarkan secara mendetail
dalam buku berjudul “Methodology Menetapkan Kesohehan
Hadits” (Dr. Mahmud Ali Fayyad).
4. Tajrih (kritik)
Permasalahan tajrih sangat erat hubungannya dengan Jarh Watta’dil, sehingga
Imam Ibnu Hajar mencoba mengkaji factor-faktor yang mendorong tajrih dalam
beberapa factor, diantaranya:
- Tajrih (dinilai cacat) karena penganut bid’ah.
- Tajrih (dinilai cacat) karena menyalahi perawi yang lebih tepercaya.
- Tajrih (dinilai cacat) karena kekeliruan.
- Tajrih (dinilai cacat) karena tidak diketahui identitasnya.
- Tajrih (dinilai cacat) karena terputus sanad-sanadnya.
Saya yakin bahwa Al-‘Allamah Ibnu Hajar tidak bermaksud
membatasi lima factor yang mendorong tajrih yang tidak luput dari perbedaan
ulama’ kritik. Ada masalah-masalah pribadi seorang yang berkaitan dengan orang
lain, kehidupan seorang ini yang mempengaruhi akhlak, keadaan kehidupan, keadaan
akal dan jiwanya. Hal ini, tidak berkaitan dengan salah satu dari lima factor
yang mendorong tajrih, bahkan sebagiannya berkaitan dengan kekacauan[7].
C.
Model-Model Penelitian Hadits
Sebagimana halnya Al-qur’an, Al-hadits pun telah banyak
diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap Al-hadits
lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap Al-qur’an. Hal ini
antara lain dapat dilihat dari dari segi datangnya Al-qur’an dan hadits
berbeda. Kedatangan (asbabulwurudl) atau turunnya (asbabunnuzul)nya
Al-qur’an diyakini secara mutawatir berasal dari Allah. Tidak ada satu
ayat Al-qur’anpun yang diragukan sebagai yang bukan dari Allah SWT. Atas
dasar ini, maka dianggap tidak perlu menganalisa apakah ayat-ayat al-quran itu
berasal dari Allah atau bukan. Hal ini berbeda dengan Al-hadits dari segi
datangnya (asababulwurud)nya tidak seluruhnya diyakini berasal dari
Nabi. Hal ini selain disebabka sifat dari lafal-lafal hadits yang tidak
bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian terhadap penulisan hadits dizaman
Rasulullah agak kurang, bahkan beliau pernah melarangnya, dan juga karena
sebab-sebab politis dan lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan para
ulama seperti Imam Muslim dan Imam Bukhori yang mnecurahkan segenap tenaga,
pikiran, dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti hadits.
Demikianlah berbagai penilaian yang diberikan para ahli
mengenai kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada masing-masing kitab
tersebut .Hal ini hendaknya semakin menyadarkan kepada kita, bahwa betapapun
hebatnya penelitian tesebut tetap memiliki kelemahan, disamping kelebihanya
masing-masing. Yang jelas mereka adalah peneliti-peneliti awal dibidang hadits.
Peneliti hadist berikutnya dapat diikuti pada uraian berikut ini.
1. Model H.M.quraish
Sihab
Penelitian yang dilakukan Quraish Shihab terhadap hadits
menunjukkan Jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian
terhadap Al qur’an. Dalam bukunya berjudul Membumikan Al-Qur An, Quraish
Shihab. Hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits, yaitu mengenai
hubungan Hadits dan Al-Qur’an serta fungsi dan posisi Sunnah dalam Tafsir.
Bahan-bahan penelitian yang beliau gunakan adalah bahan kepustakaan atau bahan
bacaan, yaitu sejumlah buku yang ditulis para pakar dibidang hadits termasuk
pula Al-qur an. Sedangkan sifat penelitiannya adalah deskritif analitis, dan
bukan uji hepotesis.
Hasil penelititan Quraish Shihab tentang fungsi hadits
terhadap Al- qur an,
menyatakan bahwa Al-qur'an menekankan bahwa Rosul SAW.
Berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah ( QS 16 :44) penjelasan atau
bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beranika ragam bentuk
dan sifat, serta fungsinya.
Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah
fi Mankatiha wa fi tarikhiha, sebagaimana dikutip H.M. Quraish
Shihab, menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an
dan fungsi yang berhubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan
menunjuk kepada pendapat Imam Syafi’i dalam Al-Risalah, Abdul Halim menegaskan
bahwa dalam kaitannya dengan Al-qur’an ada fungsi Al-Sunnah yang tidak
diperslisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh semantara ulama’ dengan
bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekedar menguatkan dan menggaris
bawahi kembali apa yang terdapat didalam Al-qur’an. Ulama lain
menyebutnya sebagai menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan
oleh Al-qur’an. Dalam keadaan demikian, Al-Qur’an dan Al-Sunnah kedua-duanya
bersama-sama menjadi sumber hukum. Untuk contoh fungsi Al-Sunnah
yang pertama ini dapat diambil hadits yang berbunyi sebagai berikut.
الاأنبئكم بأكبر الكبائر؟ قلوا بلى . قا
ل
الا شرا ك با
لله وعقوق الوالدين وكا ن متكئا
وجلس وقا ل
ألا وقول الزور
Artinya :
Tidaklah kamu sekalian ingin aku
jelaskan tentang dosa yang paling besar?
Suhut kami (para sahabat): Yang Rosulullah. Beliau
meneruskan sabdanya:
(1) Manyakutkan Allah; (2) Berbuat durhaka kepada kedua orang tua (saat itu Rosullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: Awas ingat pula ) yaitu (2) bersaksi palsu .( HR. Bukhari dan Muslim).
(1) Manyakutkan Allah; (2) Berbuat durhaka kepada kedua orang tua (saat itu Rosullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: Awas ingat pula ) yaitu (2) bersaksi palsu .( HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut adalah sabagai menetapkan dan
menggaris bawahi ayat Al-qur’an yang berbunyi :
واجتنبوا قول الزور ( الحج :
30 )
Dan Jauhilah perkataan dusta. (QS al-Hajj,
ayat: 30)
Adapun fungsi yang kedua dari Al-Sunnah adalah memperjelas,
merinci,
bahkan membatasi. pengertian lahir dari ayat-ayat Al-qur’an,
yaitu memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-qur’an yang masih mujmal,
memberikan taqyid ( Persyaratan) ayat-ayat Alqur’an yang mutlaq
dan meberikan takhsish (penentuan khusus) ayat-ayat Al-qu’an yang
masih umum. Misalnya printah mengerjakan sembahyang, membayar zakat, dan
menunaikan ibadah haji. Didalam Al-qur’an tidak dijelaskan jumlah rakaat dan
bagaimana cara-cara melaksanakannya. Tidak diprincikan nisab-nisab zakat, dan
juga tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji, tetapi semuanya itu
telah ditafshil (diterangkan secara terperinci) dan ditafsirkan
sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits. Misalnya hadits yang artinya ”
Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam
bangkai itu adalah bangkai ikan dan bangkai belalang. Sedangkan dua macam darah
itu ialah hati dan dan limpa” ( HR. Ibn Majah dan Al-Hakim). Hadis ini
merupakan pengecuali terhadap ayat Al-qur’an yang sifatnya umum sebagai
berikut: Diharamkan bagimu
( memakan ) bangkai, darah dan daging babi. (QS Al-Maidah,
5:3). Selanjutnya, dijumpai pula hadis yang artinya: “Seorang Muslim tidak
boleh mewarisi harta sikafir dan sikafir pun tidak boleh mewarisi harta si
Muslim”.(HR Al-jama’ah). Dan hadits yang artinya : ” Sipembunuh tidak boleh
mewarisi harta orang yang dibunuh sedikitpun” (HR. Nasa’iy). Kedua hadits
tersebut merupakan pembatas terhadap ayat yang sifatnya mutlaq, yaitu ayat yang
artinya: “Allah telah mewasiatkan kepadamu tentang bagian anak-anakmu, yakni
untuk laki-laki sama dengan dua bagian anak permpuan”. ( QS Al-Nisa,4: 11).
Selain itu Al- Hadits juga dapat dijadikan hujjah dalam untuk menetapkan hukum
atau aturan yang tidak didapati didalam Al-qur’an. Dalam hubungan ini kita
misalnya membaca hadits yang artinya: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan
(memadu) seorang wanita dengan ‘ammah
(saudari bapak) nya dan seorang wanita dengan khalab (saudari ibu)nya”. (HR
Bukhari Muslim), dan hadits yang artinya: “Sungguh Allah telah mengharamkan
mengawini seseorang karena sepesusuan, sebagaimana hal Allah telah
mengharamkannya karena senasa”. (HR. Bukhari dan Muslim). Materi hukum yang
ditetapkan keharamannya oleh kedua hadits tersebut sepanjang penelitian nabi
Muhammad SAW. Mengambil inisiatif untuk mengharamkannya.
Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu hadits tumbuh
menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman. Penelitian hadits tampak masih
terbuka luas terutama jika dikaitkan dengan permasalahan actual dewesa ini.
Penelitian terhadap kualitas hadits yang dipakai dalam berbagai kitab misalnya
belum banyak dilakukan. Demikian pula penelitian hadits-hadits yang ada
hubungannya dengan berbagai masalah actual tampak masih terbuka luas. Berbagai
pendekatan dalam memahami hadits juga belum banyak digunakan. Misalnya
pendekatan sosiologi, paedagogis, antrolopogis, ekonomi, politik, filosofis,
tampaknya belum banyak digunakan oleh para peneliti hadits sebelumnya. Akibat dari
keadaan demikian, tampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadits umumnya
masih besifat pasial[8].
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hadits sebagai sumber kedua dari ajaran agama Islam harus terjaga dari
kesalahan selain sebagai pensyarah dan penjelas dari al-Qu’ran . oleh karena
itu perlu penelitian yang ekstra serius agar kemurnian kedua kutub ajaran agama
itu tidak terkontaminasi dengan hal-hal yang hanya dibuat manusia. Namun untuk
mengetahui identitsas sebuah hadits bukanlah sesuatu yang gampang. Para Sahabat
dan Tabi’in serta para perawi hadits sangat berhati-hati dalam meneliti hadits.
Mereka sangat cermat dan tekun dalam mengemukakan sebuah hadits, sehingga dapat
diketahui keabsahan hadits tersebut. Namun tidak serta merta mereka menolak
sebuah hadits tanpa alasan yang ilmiyah. Dalam meneliti identitas hadits atau
kesahihannya, mereka meneliti keadaan para rawi baik sikap, akhlak, daya ingat,
daya pikir, latar berlakang pendidikan dan keluarganya. Sehingga hadits-hadits-hadits
itu betul-betul murni dari aslinya sesuai dengan apa yang disampaikan dari nabi
SAW. Serta menolak hadits-hadits yang hanya dibuat-buat manusia untuk
menguatkan argumentasi pendapat mereka atau yang hanya berbuat sekehendak
nafsu. Sehingga perlu kita ketahui identitas hadits itu agar tidak terjadi
tafsir buta atau tafsir yang mengada-ada yang tidak sesuai dengan ajaran
agama islam yang sebenarnya dengan adanya model-model hadits dari para punggawa
agama Islam modern dan klasik.
Kesan
Dalam rangka melestarikan khazanah keislaman maka perlu kita mengetahui
bagaimana model-model ulama’ dalam meneliti sebuah hadits. Agar kita bisa
mengetahui seluk-beluk yang sebenarnya. Selain itu model penelitian hadits
sangat berkaitan erat dengan tafsir al-qur’an yang notabene merupakan first
source dalam artian sumber utama dalam pedoman agama Islam. Dengan
mengetahui model-model penelitian hadits maka dalam memahami tafsir tidakakan
kabur yang menjurus pada penalaran logika belaka.
DAFTAR PUSTAKA
Fayyad, Ali, Mahmud, Metodologi Penetapan Hadits Sahih,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998)
Ghazali al-Imam, Ihta’ ‘Ulumuddin, jilid III (Beirut:
Dar al-Fikri)
Hanafi, A, Theology Islam, (Jakarta : Bulan Binatng,
1979) cet. III
Hassan, Ibrohim Hassan, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta:
Kota Kebang, 1989 )
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. (Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 1998)
Nasution, Harun,
Islam Ditinjau Dari Semua Aspekya, (Jakarta : UI Press, 1979)
Qardawi, Yusuf , Iman Dan Kehidupan, (terj.).
Fahruddin Hs.(Jakarta: Bulan Bintang, 1997 )
Http://www.google.com./
Makalah-Tentang-Model-Penelitian-Hadis. Diakses 25 November 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar