Kamis, 03 April 2014

CONTOH MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM AKU



MAKALAH METODOLOGI STUDY ISLAM
TENTANG
MODEL PENELITIAN HADIS

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
DOSEN PENGAMPU:  Tinggal Purwanto M.S.I
Description: logo stain terbaru.jpg

OLEH:
NAMA                                   :  AHMAD ROZALI
NIM                                        :  1211004
JURUSAN/PRODI               :  TARBIYAH/PAI
SEMESTER                          :  1 (SATU)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI[STAIN]
SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK
BANGKA BELITUNG
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN

            Puji syukur Alhamdulillah senantiasa aku panjatkan sebagai manifestasi syukur dan terima kasih kepada dzat yang maha pengasih dan maha penyayang. Karena berkat kasih sayangnya aku dapat menulis makalah yang diberikan oleh dosen sebagai pelatihan dalam dunia jurnalistik dan berkarya ilmiyah.
            Sholawat dan Salam tak henti-henti aku persembahkan kepada Nabi tercinta yang telah berkorban jiwa dan raga demi terbentuknya masyarakat madani (civil society) yang hidup dalam ketentraman dan berdampingan tanpa ada perbedaan apalagi permusuhan. Dialah makhluk yang paling sempurna yang diutus  kepada seluruh alam sebagai akhir dari para utusan-utusan yang terdahulu.
            Kami merupakn pemula dalam membuat tentamen-tentamen di awal bangku kuliyah, yang jelas dan tentu banyak kekurangan dan kekeliruan dalam pembuatan tentamen yang berupa makalah ini. Oleh karena itu bimbingan dan arahan selalu aku harapkan kepada semua dosen khususnya Bapak Tinggal Purwanto M.Si  sebagai dosen dari mata kuliyah MSI (Methodology Study Islam). Sehingga  dengan bimbingan dan arahan tersebut diharapkan kami dapat menghasilkan makalah  yang dapat dikatakan sebagai makalah ilmiyah yang berpijakan pada dasar- dasar ilmiyah yang dapat diuji kebenarannya baik secara ilmiyah atau secara realitas.
            Dan aku ucapkan banyak terima kasih kepada semua dekan mahasiswa yang telah banyak memberikan sumbangsih  wawasan dalam penyusunan makalah ini, sehingga kami dapat mengumpulkan data-data tentang model-model penelitian hadits, baik penelitian kontemporer atau klasik. Juga yang yang tak kalah penting kami ucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberikan bimbingan dan arahannya sehingga terbentuklah makalah sederhana yang masih jauh untuk dikatakan sempurna. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi perkembangan penelitiah hadits dan eksistensi kesohehan hadits itu sendiri.


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Hadits
            Pada garis besarnya pengertian hadits dapat ditinjau dari dua aspek pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik) dan pendekatan secara istilah (terminology).
            Dilihat dari pendekatan linguistic, hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdudutsu, hadtsan, haditzan dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata tersebut berarti sesuatu yang baru. Selanjutnya, kata hadatsa dapat pula berarti yang dekat atau waktu yang dekat. Kemudian kata hadits juga berarti al-khabar yaitu sesuatu yang berarti sesuatu yang diperbincangkan.
            Sedangkan hadits ditinjau dari segi Istilah dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Para Ulama’ ahli hadits misalnya berpendapat bahwa hadits adalah ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad SAW. Sementara Al-Thiby berpendapat bahwa hadits bukan hanya perkataan, pebuatan dan ketetapan Rasulullah SAW., akan tetapi termasuk perkataan, perbuatan dan ketetapan para Sahabat dan Tabi’in. Dalam pada itu Ulama’ ahli ushul fiqh berpendapat bahwa hadits adalah prkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW. yang berkaitan dengan hukum. Sementara ahli fiqh mengidentifikasikan hadits sebagai sunnah, yatu sesuatu yang yang taklifi. Suatu perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa[1].

     Menentukan Status Hadits
Langkah awal para ulama dalam menetapkan ke-shahihan dan kelemahan suatu hadits , adalah menentukan prinsip-prinsip dasar suatu hadits sebagai cara untuk melakukan elaborasi terhadap keberadaan. Langkah ini memungkinkan terjadinya perbedaan nuansa antara ulama yang satu dengan yang lain. Dan dalam beberapa hal, nuansa perbedaan tersebut juga terimbas dalam menetapkan status suatu hadits. Untuk menghindari kekeliruan mengatasnamakan nabi, ulama memilah  kepada  yang dapat dijadikan hujjah (shahih dan hasan) dan  yang tidak dapat dijadikan hujjah (dla’if).

1.    Prinsip Ijtihad
Prinsip ijtihad sebenarnya bukan monopoli karena ulama sebelum dan sesudahnya juga telah menggunakan istilah ijtihad dalam menentukan shahih tidaknya suatu hadits. Dalam melakukan ijtihad-nya, ulama hadits menggunakan dua pendekatan; pendekatan sanad dan matan. Sanad merupakan mata rantai (transmisi) hadits yang terdiri dari orang-orang yang meriwayatkan hadits sampai Nabi. Sedangkan matan hadits adalah redaksi hadits itu sendiri yang berupa sabda, perbuatan, dan pengakuannya.
2.    Prinsip Status Sanad
Hadits yang dihimpun ulama baru ditulis secara intensif sejak diedarkan surat perintah ‘Umar Bin ‘Abd Al-‘Aziz kepada para gubernur khususnya di Madinah. Tradisi ini berjalan sampai para pencatat hadits abad ke-5 H. sejak zaman Rasul hingga para rawi itu, diperlukan transmisi yang meyakinkan bahwa hadits itu musnad, muttashil, dan marfu’ kepada Nabi. Kedudukan sanad sangat penting dalam memelihara ke-shahih-an hadits, sehingga muncul postulat-postulat yang berkaitan dengannya. Postulat tersebut didasari oleh keyakinan bahwa mengatasnamakan Rasulullah SAW harus ekstra hati-hati.[2]

Postulat yang dibangun ulama yang berkaitan dengan sanad, antara lain sebagai berikut:
a.    Sanad adalah Ajaran Agama
Rasulullah SAW sendiri sudah memperingatkannya sejak dini bahwa mengatasnamakannya tanpa dasar merupakan dosa dan pelakunya akan masuk neraka. Para sahabat pun sangat hati-hati dalam menisbahkan sesuatu kepada Nabi. Para sahabat pula yang pertama kali menuntut harus ada saksi (syahid), keterangan (bayan) dan sumpah jika seseorang berani menisbahkan sesuatu kepada Nabi.
b.    Sanad adalah Perantara
Suatu riwayat atau berita antara suatu generasi dengan generasi lainnya adalah sanad.
c.    Sanad adalah Pangkal Kebenaran
Sangat berbahaya jika mencari ilmu tidak diketahui dengan jelas sumbernya. Kutiap-kutipan ilmiah baru akan dipercaya jika bersumber dari orang-orang yang layak, sesuai dengan profesinya dan memiliki kemampuan lebih dari yang lainnya, baik pribadinya maupun ilmiahnya.
d.    Sanad adalah Standar Ilmiah
Untuk memperoleh sanad yang shahih ulama hadits menyusun berbagai macam kaidah yang menurut anggapannya dapat menentukan status suatu hadits. Dalam menentukan kaidah-kaidah ini, ulama menentukan kaidah-kaidah yang berkaitan bersambung dan tidaknya suatu sanad, seperti, musnad, marfu’, mursal dan sebagainya. Jumlah kaidak-kaidah tersebut antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya berbeda-beda[3].
3.    Prinsip Status Matan
Ke-shahih-an hadits tidak hanya berpegang teguh pada riwayat, tetapi juga pada matan (redaksi) hadits itu karena sebagai manusia bisa tidak lepas dari kesalahan. Untuk mengetahui shahih tidaknya matan hadits, maka bukan hanya hadits itu dikomparasikan dengan hadits lainnya, tetapi juga matan hadits tersebut perlu dikomparasikan dengan Al-Qur’an. Bila tampak matan (redaksi) hadits ada pertentangan, maka status hadits tersebut bisa dianggap dla’if, sehingga tidak bias dijadikan hujjah. Hasil komparasi tersebut bisa merupakan hadits mansukh (dihapus) oleh Al-Qur’an atau dihapus oleh hadits lainnya. Salah satu contoh hadits yang dihapus oleh Al-Qur’an ialah riwayat yang diterangkan oleh imam al-bukhari tentang shalat yang dilakukan Rasulullah menghadap ke Bayt Al-Maqdis.


4.    Kaidah Sanad dan Matan Hadits
Hadits yang dihimpun oleh ulama memiliki keanekaragaman dan keberadaan sanad serta matan yang berbeda-beda. Dalam keaneka ragaman sanad, seringkali para penghimpun menggunakan sanad yang dekat (ali) dan seringkali menggunakan sanad yang jauh (nazil). Juga seringkali terjadi hadits yang sanad, hadits ditemuinya bersambung kepada nabi dan juga adakalanya hanya sampai tingkat sahabat, tabi’in, atau sampai ke atba’ tabi’in. matannya, adakalanya lurus (tidak ada matan lain yang berlawanan dengan matan tersebut) dan seringkali mulus lafal-lafalnya (tidak ada perubahan lafal-lafalnya)[4].
a.    Jauh dan dekatnya sanad
Landasan metodologis yang digunakan Al-Hakim Rasulullah SAW pernah didatangi seseorang yang menanyakan tentang iman, kerasulan, shalat, sadaqah, puasa, dan haji, padahal ia sendiri sudah mendengar dari orang lain yang menyampaikan kepadanya.  
b.    Bersambung tidaknya sanad
Perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang dinisbatkan kepada Rasulullah, seringkali bersambung langsung kepada nabi dan seringkali tidak bersambung langsung. Ulama hadits menelaah bersambung dan terputusnya transmisi ini sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Jika sanad itu bersambung, ulama juga melakukan penelitian kepada siapa saja orang-orang yang tercantum pada sanad tersebut. Dan jika sanad itu terputus, harus ditunjukkan dimana letak terputusnya, pada tingkat sahabat, tabi’in, atau atba’ tabi’in. istilah teknis yang berkaitan dengan terputus tidaknya suatu sanad hadits adalah musnad, mawquf, mursal, munqathi’, dan mu’dlal.
·         Hadits Musnad
Hadits musnad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh ahli hadits yang menerimanya dari syaykh atau guru hadits yang jika dilihat secara sepintas, antara guru-guru hadits di setiap generasi itu, satu sama lain pernah berguru dan mendengarnya karena dimungkinkan oleh hidupnya yang semasa. Kemudian proses selanjutnya, riwayat yang dibawakannya bersambung kepada sahabat yang masyhur, kemudia, ia menyandarkannya kepada Nabi. Hadits musnad itu “shahih”, dan dapat dijadikan hujjah. Untuk membuktikan suatu hadits musnad atau tidak musnad sangat bergantung kepada telaah rawi hadits itu sendiri.

·         Hadits Mawquf
a.    Perbuatan Sahabat Rasul
Menurut al-Hakim, orang yang tidak mengetahui hadits akan menduga bahwa hadits itu musnad karena menyebut sahabat rasulullah, padahal hanya perbuatan sahabat belaka ketika mereka bertamu. Jadi, tidak selamanya perkataan yang menyebut nama rasul merupakan hadits musnad. Demikian juga termasuk mawquf jika dikatakan, “ia (sahabat) mengatakan ini dan itu, melainkan ini dan itu, menyuruh ini dan itu”.
b.    Penafsiran Sahabat.
Penafsiran sahabat termasuk kategori hadits mawquf. Jadi dalam term al-Hakim ada hadits yang dilihat dari sisi luarnya dan dilihat juga sisi hakikatnya. Dilihat dari luarnya hadits itu mawquf, tetapi hakikatnya mursal karena tidak adanya bukti bahwa tabi’in yang meriwayatkan perkataan itu menerima dari sahabat Nabi. Term ini tidak dibahas secara rinci oleh ulama lainnya. Dalam aspek ini al-Hakim lebih rinci dan lebih rinci dan lebih jeli dari ulam lainnya.

    Hadits Dilihat dari Aspek Kuantitas Ra’wi’
1.    Mutawatir
Al-hakim tidak mendefinisikan hadits mutawathir secara eksplisit; hanya menunjuk hadits tertentu yang dianggapnya mutawathir, seperti diisyaratkan tentang larangan mendustakan Nabi.  Konsep mutawathir ini baru secara definitive dikemukakan Al-Baghdadi, meskipun Al-Syafi’i, ulama sebelumnya sudah mengisyaratkan dengan istilah “khabar ‘ammah”. Menurut Al-Baghdadi, hadits mutawathir adalah “suatu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya. Ibnu shalah mendefinisikan “mutawatir ialah suatu ungkapan tentang berita yang diriwayatkan oleh orang yang memperoleh pengetahuan, yang kebenarannya dipastikan dan sanadnya konsisten memenuhi persyaratan tersebut dari awal sanad sampai akhirnya`q[5].                                                                
2.    Hadits Masyhur
Al-hakim membagi masyhur menjadi dua bagian, yaitu yang shahih dan yang tidak shahih. Hadits masyhur yang shahih ini ada yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dan ada pula yang tidak. Hadits masyhur itu pun ada yang hanya diketahui oleh para ahli hadits dan ada yang diketahui orang banyak. Seperti contoh hadits masyhur yang tidak diriwayatkan dalam kitab shahih:
“Mencari ilmu itu wajib atas setiap muslim”
3.    Hadits Gharib
Al-hakim membagi hadits ghorib menjadi tiga bagian, yaitu gharib shahih, gharib al-syuyukh, dan gharib al-mutun. Antara istilah gharib dan istilah tafarrud ada kalanya al-hakim masih ada perdebatan karena ketika ia menerangkan gharib disebut pula kata tafarrud (menyendiri). Ini artinya hadits gharib oleh al-hakim ialah hadits yang diriwayatkannya secara menyendiri. Perbedaannya terletak pada siapa yang meriwayatkan secara sendiri itu. Jika seorang yang menyendiri itu syaykh (guru-guru hadits) gharib al-syuyukh; jika terletak pada perbedaan lafal hadits dari seseorang disebut ghara ‘ib al-mutun. Di antara hadits gharib syuyukh ialah hadits yang menerangkan “larangan Nabi terhadap pedagang di kota langsung menjual barang ke desa. Hadits gharib matan, menurut Al-Hakim, sanadnya juga bisa saja gharib. Contohnya hadits yang menerangkan tentang kekuasaan yang akan di pegang “Ali bin Abi Thalib.
4.    Hadits Afrad atau Fard
Al-Hakim memberikan nuansa tertentu terhadap hadits gharib dan fard, walaupun kedua-duanya sama-sama mengenai riwayat yang menyendiri. Hadits gharib ini lebih ditekankan kepada sekelompok orang yang berada di kota tertentu yang menerima hadits itu dari seorang sahabat, lalu diterima pula dari seorang ulama terkenal dan hadits yang diterima dari penduduk kota lainnya. Misalnya. Hadits diriwayatkan oleh penduduk kufah, madinah, hadits diterima dari ulama terkenal seperti Ibn ‘Uyaynah dari al-Zuhri.
5.    Hadits diterima melalui jalur keluarga
Hadits tersebut diriwayatkan oleh sekelompok rawi yang menerima dari para Imam Hadits. Para imam ini juga menerima dari ayah-ayah mereka dan ayah-ayah mereka menerima pula dari kakek-kakeknya. Menurut al-hakim, mereka adalah para sahabat Nabi dan cucu-cucunya orang yang terpercaya; hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mereka itu tercantum dalam kitab-kitab hadits selain shahih. Al-Hakim menyatakan bahwa hadits itu disepakati bersama, maksudnya ialah bahwa orang-orang yang meriwayatkan hadits itu disepakati oleh syaykh dan haditsnya layak diterima[6].


     Hadits Dilihat dari Aspek Kualitas Ra’wi
Dalam menentukan status hadits al-hakim seringkali menyebut shahih dan saqim dan seringkali mengatakan shahih dan majruh. Perkataan majruh disini ialah hadits yang rawi-nya tercela yang tentu akan berimplikasi terhadap ditolaknya hadits yang diriwayatkannya. Hadits yang perawinya majruh ini dalam istilah lain ialah hadits dla’if karena terjadi hadits dla’if antara lain diriwayatkan oleh orang-orang yang majruh.
Hadits Shahih menurut al-Hakim
Hadits shahih itu adalah hadits yang memiliki lima persyaratan, yaitu musnad (bersambung sanadnya), rawi-nya adil, dlabith, tidak syadzdz, dan tidak ber-‘illah.
Ø    Hadits yang disepakati ke- shahih-annya
Ada enam macam hadits yang disepakati ke-shahih-annya
a.       Hadits shahih menurut kriteria al-Bukhari dan Muslim
b.      Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
c.       Hadits dari kelompok Tabi’in
d.      Hadits fard dan gharib
e.       Hadits fard dan gharib yang disepakati ke-shahihannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah dan ‘adil.
f.       Hadits diterima melalui jalur keluarga
Ø  Hadits yang diperselisihkan ke-shahih-annya
1.    Hadits-hadits Mursal
Hadits Mursal ialah ucapan tabi’in atau atba tabi’in yang langsung dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, padahal jarak antara Rasul SAW dengan mereka mencapai satu abad lamanya, dan tidak ada rawi-rawi yang menjadi perantara. Adapun alasan mereka menolak hadits mursal ialah dalam al-Qur’an dengan jelas Allah menerangkan “Perlu adanya sekelompok orang yang mencari ilmu secara langsung untuk kemudian diajarkan lagi kepada kaumnya ketika pulang. Dalam menerima hadits mursal bergantung kepada siapa orang yang me-mursal-kan itu. Jika orangnya jujur dan terpercaya bisa saja hadits itu dipercaya.
2.    Riwayat orang-orang Mudallis
Riwayat orang-orang mudallis dapat dijadikan hujjah oleh sekelompok ulama Kufah jika tidak ada riwayat yang sah yang mereka dengar dari orang lain. Namun, Ulama Madinah menolaknya. Yang dimaksud dengan mudallis ialah Ibnu ‘Uyaynah.
3.    Riwayat orang yang Tsiqah
Hadits yang termasuk diperselisihkan oleh ulama adalah yang diriwayatka oleh orang-orang terpercaya yang diterima dari orang yang terpercaya pula. Prosesnya adalah hadits diterima dari orang tsiqah, diterima dari seorang Imam yang diberi sanad olehnya. Kemudian, diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tsiqah pula, tetapi dengan cara mursal. Hadits yang seperti ini banyak yang dianggap shahih menurut madzhab fuqaha’, tetapi ulama hadits tidak menerimanya. Tidak selamanya hadits itu di perselisihkan oleh ahli hadits, tetapi bisa saja suatu hadits disepakati oleh ahli hadits dan ditolak oleh ahli fiqh atau sebaliknya.


4.    Riwayat Ahli Bi’dah
Hadits yang diterima dari ahli bi’dah diperselisihkan oleh ulama antara diterima dan tidak diterima. Menurut kebanyakan ahli hadits riwayat mereka boleh diterima dengan syarat orangnya jujur, sebagaimana dilakukan juga oleh al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaymah, dan lain-lain.
Imam Maliki sendiri mengatakan, “Ilmu itu (Hadits) tidak boleh diambil dari empat golongan, yaitu dari orang safih, pendusta, pengikut aliran hawa nafsu (ahli bi’dah) yang membawa kepada alirannya, dan orang saleh atau tukang ibadah yang tidak mengetahui hadits.

·         Larangan Menulis Hadits Pada Masa Nabi
Di masa Rasulullah SAW masih hidup, hadits belum dibukukan, dalam arti umum, seperti Al-Qur’an. Hal ini disebabkan dua faktor berikut:
1.   Para sahabat berpegang pada kekuatan hafalan dan kecerdasan akal mereka, di samping tidak lengkapnya alat-alat tulis yang mereka miliki.
2.   Adanya larangan menulis hadits. Muslim dalam sahihnya, meriwayatkan dari sa’id al-khudri, bahwa nabi Muhammad saw berkata:
“Janganlah kamu menulis sesuatu (yang kamu terima) dariku selain Qur’an. Barang siapa yang telah menulis sesuatu selain Qur’an, hendaklah dihapus”.
Bolehjadi, larangan penulisan hadits itu karena dikhawatirkan akan tercampurnya hadits dengan Qur’an, atau penulisan hadits itu akan melalaikan mereka dari Qur’an, atau larangan itu ditujukan kepada orang-orang yang dipercayai kekuatan hafalannya. Tetapi bagi mereka yang tidak lagi dikhawatirkan bahwa hadits dengan Qur’an akan tercampur aduk, seperti mereka yang pandai baca tulis, atau karena mereka khawatir akan lupa, maka penulisan hadits diperbolehkan. Dan dalam pengertian inilah menurut beberapa riwayat penulisan hadits bagi sementara sahabat diizinkan.
·         Penulisan Hadits Setelah Nabi Wafat
            Tidak berselang lama setelah Rasulullah SAW wafat, para penulis hadits, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, banyak bermunculan. Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, bahwa ia senantiasa menyertai Ibn Abbas r.a. untuk mendengarkan hadits darinya. Hadits-hadits yang didengarnya itu dicatat ketika ia dalam perjalanan, kemudian disalin sesampai dirumah.
·         Pembukuan Hadits Secara Umum
Pada abad pertama perkembangan hadits ialah bahwa sebagian perawi mencatat hadits-hadits, sedang yang lain tidak mencatatnya. Dalam meriwayatkannya, mereka hanya berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan demikian terus berlangsung hingga masa pemerintahaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a. Ia tergerak hatinya dan merasa perlu membukukan hadits dan sunnah. Hal ini disebabkan ia merasa khawatir akan hilang dan lenyapnya hadits-hadits bersama para penghafalnya yang kian hari kian banyak yang meninggal, atau karena ia khawatir tercampur baurnya hadits-hadits asli dengan yang batil. Di samping itu, mulai bermunculanlah kelompok ateis yang mempunyai tujuan akan menghancurkan agama dengan cara membuat-buat ajaran palsu dan memasukkan ke dalamnya sesuatu yang sebenarnya bukan ajaran agama. Sebagaimana dimasa itu telah muncul pula pertentangan-pertentangan politik, mazhab dan golongan bangsa yang menyebabkan meluasnya hadits-hadits palsu yang mendukung kepentingan masing-masing.


B. Methodology Penelitian Hadits      
            Ada banyak cara yang dilakuakn para ulama’ dalam meneliti hadits yaitu diantaranya meneliti kehidupan seorang perawi, baik berupa keadaan khusus atau keadaan yang bersifat umum, segi kecermatan, segi daya hafal, yakni dengan meneliti bagaimana si perawi memperoleh hadits dari gurunya. Atau dengan menilai hadits tersebut dari berbagai cara yang akan kami rangkum sebagai berikut;
1. Tahammul (bagaimana seorang perawi membawa hadits)    
            Salah satu cara yang dilakukan oleh seseorang dalam menentukan status hadits adalah meneliti bagaimana perawi menerima hadits, dalam masalah dapat dikelompokkkan sebagai berikut;
  1. sima’, yaitu seorang guru mengimlakkan hadits kepada muridnya
  2. munawalah, (menyerahkan dengan disertai ijazah), yakni seorang guru mmberikan catatan asli atau salinan kepada muridnya seraya berkata “saya ijazahkan kepadamu dan kamu boleh meriwayakan”
  3. ijazah tanpa munawalah, yakni seorang guru membolehkan muridnya untuk meriwayatkan hadits dari gurunya
  4. munawalah tanpa ijazah, yakni seorang guru menyerahkan kitab pada muridnya seraya berkata, “ ini hadits yang saya dengar” tanpa menyuruh meriwayatkan.
  5. I’lam, yakni seorang guru berkata kepada muridnya, “ kitab ini yang saya dengar” tanpa memberikan izin untuk meriwayatkannya.
  6. Wasiat, yakni seorang guru ketika bepergian atau menjelang meninggal berwasiat dengan sebuah kitab kepada seorang muridnya.
  7. Wijadah, yakni muhaddits menemukan hadits atau kitab yang ditulis ulama’ lain yang dikenal kedhobitannya. Kemudian dia berkata saya temukan tulisan seseorang begini.
2. Mencari sanad-sanad terbaik
            Sebagian ahli hadits menamakan sanad-sanad terbaik dalam segi masuk Islamnya, segi kecermatan analisisnya dan dalam segi kemampuannya dan tidak membatasi pada sahabat atau Negeri. Sebagian ahli hadits menyebutkan sanad-sanad terbaik sebagai berikut:
  1. Sanad terbaik dari Abubakar ialah Isma’il bin Abi Khalid dari bin Abi Hazin dari Abu Bakar.
  2. Sanad terbaik dari Ali bin Abi Thalib diantaranya Muhammad bin Sirin dari Ubaidah Al-Salmani dari Ali
  3. Sanad terbaik dari ‘Aisyah diantaranya Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah.
  4. Sanad terbaik dari Sa’ad bin Abi Waqash ialah Ali Bin Al-Husain bin Ali dari Sa’id bin Al-Musayyab dari Sa’ad bin Abi Waqash.
Dan masih banyak lagi sanad-sanad terbaik yang perlu dianalisis secara mendalam yang dapat mengetahui kedudukan dari hadits-hadits tersebut.
3. Jarh Watta’dil
            Analisis Jarh Watta’dil merupakan penelitian tentang kecekatan (kedhabitan) seorang perawi. Dalam permasalahn ini, kami akan memberikan gambaran sejelas-jelasnya kepada pembaca sekalian tentang apa yang dimaksud dengan Jarah watta’dil itu.?
  1. Jarh ( sifat tidak terpuji)
Yang dimaksud Al-Jarh adalah memeriksa keadaan perawi yang dinilai lemah kedabitannya dan megeritiknya sebelum Sunnah dibukukan sampai dengan tahun 300 H. jelas bahwa pemeriksaan terhadap keadaan perawi hadits itu dilakukan sebelum Sunnah dibukukan. Pembukuan ini diawali dengan pengeritikan perawi, pembuatan standar (tolok ukur) ke-dhabitan yang kemudian dihimpun dalam sebuah kitab, Karena itu, kita tidak dapat melakukan pengeritikan terhadap perawi-perawi terdahulu. Dan kita hanya memberi penilaian terhadap hasil karya Jarh Watta’dil yang terdapat didalam kitab-kitab mereka.
  1. At-ta’dil (sifat terpuji)
Yang dimaksud dengan ta’dil adalah menilai tingginya kedhabitan (kecekatan hafalan) seorang perawi. Dalam ta’dil ini ada tingkatan-tingkatan kedhabitan perawi. Diantaranya seorang perawi punya tingkat tertinggi seperti punya sebutan, “Autsaqunnas” atau “atsbatuhum” yang berarti orang yang paling cermat. Selain tingkatan cekatan tertinggi masih ada tingkatan-tingkatan yang tidak mengurangi nilai kedhabiatn seorang perawi. Hal ini dijabarkan secara mendetail dalam buku berjudul Methodology Menetapkan Kesohehan Hadits” (Dr. Mahmud Ali Fayyad).

4. Tajrih (kritik)
            Permasalahan tajrih sangat erat hubungannya dengan Jarh Watta’dil, sehingga Imam Ibnu Hajar mencoba mengkaji factor-faktor yang mendorong tajrih dalam beberapa  factor, diantaranya:
  1. Tajrih (dinilai cacat) karena penganut bid’ah.
  2. Tajrih (dinilai cacat) karena menyalahi perawi yang lebih tepercaya.
  3. Tajrih (dinilai cacat) karena kekeliruan.
  4. Tajrih (dinilai cacat) karena tidak diketahui identitasnya.
  5. Tajrih (dinilai cacat) karena terputus sanad-sanadnya.
Saya yakin bahwa Al-‘Allamah Ibnu Hajar tidak bermaksud membatasi lima factor yang mendorong tajrih yang tidak luput dari perbedaan ulama’ kritik. Ada masalah-masalah pribadi seorang yang berkaitan dengan orang lain, kehidupan seorang ini yang mempengaruhi akhlak, keadaan kehidupan, keadaan akal dan jiwanya. Hal ini, tidak berkaitan dengan salah satu dari lima factor yang mendorong tajrih, bahkan sebagiannya berkaitan dengan kekacauan[7].


C.    Model-Model Penelitian Hadits
Sebagimana halnya Al-qur’an, Al-hadits pun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap Al-hadits lebih banyak kemungkinannya dibandingkan penelitian terhadap Al-qur’an. Hal ini antara lain dapat dilihat dari dari segi datangnya Al-qur’an dan hadits berbeda. Kedatangan (asbabulwurudl) atau turunnya (asbabunnuzul)nya Al-qur’an diyakini secara mutawatir berasal dari Allah. Tidak ada satu ayat  Al-qur’anpun yang diragukan sebagai yang bukan dari Allah SWT. Atas dasar ini, maka dianggap tidak perlu menganalisa apakah ayat-ayat al-quran itu berasal dari Allah atau bukan. Hal ini berbeda dengan Al-hadits dari segi datangnya (asababulwurud)nya tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi. Hal ini selain disebabka sifat dari lafal-lafal hadits yang tidak bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian terhadap penulisan hadits dizaman Rasulullah agak kurang, bahkan beliau pernah melarangnya, dan juga karena sebab-sebab politis dan lainnya.  Keadaan inilah yang menyebabkan para ulama seperti Imam Muslim dan Imam Bukhori yang mnecurahkan segenap tenaga, pikiran, dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti hadits.
Demikianlah berbagai penilaian yang diberikan para ahli mengenai kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada masing-masing kitab tersebut .Hal ini hendaknya semakin menyadarkan kepada kita, bahwa betapapun hebatnya penelitian tesebut tetap memiliki kelemahan, disamping kelebihanya masing-masing. Yang jelas mereka adalah peneliti-peneliti awal dibidang hadits. Peneliti hadist berikutnya dapat diikuti pada uraian berikut ini.

1. Model H.M.quraish Sihab
Penelitian yang dilakukan Quraish Shihab terhadap hadits menunjukkan Jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap Al qur’an. Dalam bukunya berjudul Membumikan Al-Qur An, Quraish Shihab. Hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits, yaitu mengenai hubungan Hadits dan Al-Qur’an serta fungsi dan posisi Sunnah dalam Tafsir. Bahan-bahan penelitian yang beliau gunakan adalah bahan kepustakaan atau bahan bacaan, yaitu sejumlah buku yang ditulis para pakar dibidang hadits termasuk pula Al-qur an. Sedangkan sifat penelitiannya adalah deskritif analitis, dan bukan uji hepotesis.
Hasil penelititan Quraish Shihab tentang fungsi hadits terhadap Al- qur an,
menyatakan bahwa Al-qur'an menekankan bahwa Rosul SAW. Berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah ( QS 16 :44) penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan  sekian banyak ulama beranika ragam bentuk dan sifat, serta fungsinya.
Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Mankatiha wa fi tarikhiha, sebagaimana dikutip H.M. Quraish Shihab, menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan fungsi yang berhubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan  menunjuk kepada pendapat Imam Syafi’i dalam Al-Risalah, Abdul Halim menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan Al-qur’an ada fungsi Al-Sunnah yang tidak diperslisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh semantara ulama’ dengan  bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekedar menguatkan dan menggaris bawahi kembali apa yang terdapat didalam Al-qur’an.  Ulama lain menyebutnya sebagai menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-qur’an. Dalam keadaan demikian, Al-Qur’an dan Al-Sunnah kedua-duanya bersama-sama menjadi sumber hukum.  Untuk contoh  fungsi Al-Sunnah yang pertama ini dapat diambil hadits yang berbunyi sebagai berikut.
الاأنبئكم بأكبر الكبائر؟ قلوا بلى . قا ل
الا شرا ك با لله وعقوق الوالدين وكا ن متكئا
وجلس وقا ل ألا وقول الزور
Artinya :
Tidaklah kamu sekalian ingin aku jelaskan tentang dosa yang paling besar?
Suhut kami (para sahabat): Yang Rosulullah. Beliau meneruskan sabdanya:
(1) Manyakutkan Allah; (2) Berbuat  durhaka kepada kedua orang tua (saat itu Rosullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: Awas ingat pula ) yaitu (2) bersaksi palsu .
( HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut adalah sabagai  menetapkan dan menggaris bawahi ayat Al-qur’an yang berbunyi :
واجتنبوا قول الزور ( الحج :  30  )

Dan Jauhilah perkataan dusta. (QS al-Hajj, ayat: 30)
Adapun fungsi yang kedua dari Al-Sunnah adalah memperjelas, merinci,
bahkan membatasi. pengertian lahir dari ayat-ayat Al-qur’an, yaitu memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ( Persyaratan) ayat-ayat Alqur’an yang mutlaq dan meberikan takhsish (penentuan khusus) ayat-ayat Al-qu’an yang masih  umum. Misalnya printah mengerjakan sembahyang, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji. Didalam Al-qur’an tidak dijelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara-cara melaksanakannya. Tidak diprincikan nisab-nisab zakat, dan juga tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji, tetapi semuanya itu telah ditafshil (diterangkan secara terperinci) dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits. Misalnya hadits  yang artinya ” Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu adalah bangkai ikan dan bangkai belalang. Sedangkan dua macam darah itu ialah hati dan dan limpa” ( HR. Ibn Majah dan Al-Hakim). Hadis ini merupakan pengecuali terhadap ayat Al-qur’an yang sifatnya umum sebagai berikut: Diharamkan bagimu
( memakan ) bangkai, darah dan daging babi. (QS Al-Maidah, 5:3). Selanjutnya, dijumpai pula hadis yang artinya: “Seorang Muslim tidak boleh mewarisi harta sikafir dan sikafir pun tidak boleh mewarisi harta si Muslim”.(HR Al-jama’ah). Dan hadits yang artinya : ” Sipembunuh tidak boleh mewarisi harta orang yang dibunuh sedikitpun” (HR. Nasa’iy). Kedua hadits tersebut merupakan pembatas terhadap ayat yang sifatnya mutlaq, yaitu ayat yang artinya: “Allah telah mewasiatkan kepadamu tentang bagian anak-anakmu, yakni untuk laki-laki sama dengan dua bagian anak permpuan”. ( QS Al-Nisa,4: 11).
            Selain itu Al- Hadits juga dapat dijadikan hujjah dalam untuk menetapkan hukum atau aturan yang tidak didapati didalam Al-qur’an. Dalam hubungan ini kita misalnya membaca hadits yang artinya: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (saudari bapak) nya dan seorang wanita dengan khalab (saudari ibu)nya”. (HR Bukhari Muslim), dan hadits yang artinya: “Sungguh Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepesusuan, sebagaimana hal Allah telah mengharamkannya karena senasa”. (HR. Bukhari dan Muslim). Materi hukum yang ditetapkan keharamannya oleh kedua hadits tersebut sepanjang penelitian nabi Muhammad SAW. Mengambil inisiatif untuk mengharamkannya.

            Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian tersebut, maka kini ilmu hadits tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman. Penelitian hadits tampak masih terbuka luas terutama jika dikaitkan dengan permasalahan actual dewesa ini. Penelitian terhadap kualitas hadits yang dipakai dalam berbagai kitab misalnya belum banyak dilakukan. Demikian pula penelitian hadits-hadits yang ada hubungannya dengan berbagai masalah actual tampak masih terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam memahami hadits juga belum banyak digunakan. Misalnya pendekatan sosiologi, paedagogis, antrolopogis, ekonomi, politik, filosofis, tampaknya belum banyak digunakan oleh para peneliti hadits sebelumnya. Akibat dari keadaan demikian, tampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadits umumnya masih besifat pasial[8].






















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

            Hadits sebagai sumber kedua dari ajaran agama Islam harus terjaga dari kesalahan selain sebagai pensyarah dan penjelas dari al-Qu’ran . oleh karena itu perlu penelitian yang ekstra serius agar kemurnian kedua kutub ajaran agama itu tidak terkontaminasi dengan hal-hal yang hanya dibuat manusia. Namun untuk mengetahui identitsas sebuah hadits bukanlah sesuatu yang gampang. Para Sahabat dan Tabi’in serta para perawi hadits sangat berhati-hati dalam meneliti hadits. Mereka sangat cermat dan tekun dalam mengemukakan sebuah hadits, sehingga dapat diketahui keabsahan hadits tersebut. Namun tidak serta merta mereka menolak sebuah hadits tanpa alasan yang ilmiyah. Dalam meneliti identitas hadits atau kesahihannya, mereka meneliti keadaan para rawi baik sikap, akhlak, daya ingat, daya pikir, latar berlakang pendidikan dan keluarganya. Sehingga hadits-hadits-hadits itu betul-betul murni dari aslinya sesuai dengan apa yang disampaikan dari nabi SAW. Serta menolak hadits-hadits yang hanya dibuat-buat manusia  untuk menguatkan argumentasi pendapat mereka atau yang hanya berbuat sekehendak nafsu. Sehingga perlu kita ketahui identitas hadits itu agar tidak terjadi tafsir buta atau tafsir  yang mengada-ada yang tidak sesuai dengan ajaran agama islam yang sebenarnya dengan adanya model-model hadits dari para punggawa agama Islam modern dan klasik.
Kesan
            Dalam rangka melestarikan khazanah keislaman maka perlu kita mengetahui bagaimana model-model ulama’ dalam meneliti sebuah hadits. Agar kita  bisa mengetahui seluk-beluk yang sebenarnya. Selain itu model penelitian hadits sangat berkaitan erat dengan tafsir al-qur’an yang notabene merupakan first source dalam artian sumber utama dalam pedoman agama Islam. Dengan mengetahui model-model penelitian hadits maka dalam memahami tafsir tidakakan kabur yang menjurus pada penalaran logika belaka.

DAFTAR PUSTAKA


Fayyad, Ali, Mahmud, Metodologi Penetapan Hadits Sahih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998)
Ghazali al-Imam, Ihta’ ‘Ulumuddin, jilid III (Beirut: Dar al-Fikri)
Hanafi, A, Theology Islam, (Jakarta : Bulan Binatng, 1979) cet. III
Hassan, Ibrohim Hassan, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kebang, 1989 )
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1998)
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Semua Aspekya, (Jakarta : UI Press, 1979)
Qardawi, Yusuf , Iman Dan Kehidupan, (terj.). Fahruddin Hs.(Jakarta: Bulan Bintang, 1997 )
Http://www.google.com./ Makalah-Tentang-Model-Penelitian-Hadis. Diakses 25 November 2012.






[1] Abuddin Nata, Metodologi Penelitian Hadis, (Jakarta: Rajagrafindo Persada),  2011,  hlm. 234.
[2] Mudasir, ilmu hadis, CV. Pustaka setia, 1998, hal  11.
[3] Mahmud ali fabbad, metodologi penetapan kesahihan hadis, pustaka setia, 1998, hal. 13.
[4] Muhammad Ali Fabbad, Metodologi Penetapan Hadis, Pustaka Setia, 1998 , Hal. 13.
[5] Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis, Para Madina, 2000, hal. 169.
[6] Ibid, hal. 173.
[7] http://www.google.com./Makalah-Tentang-Model-Penelitian-Hadis. Diakses 25 November 2012.
[8] Abuddin, study hadis, rajagrafindo, hal. 241-244

Tidak ada komentar:

Posting Komentar